Are You a Zetizen?
Show Menu

Transportasi Online vs Konvensional, Apa sih yang Diributkan?

Zetizen Zetizen 25 Mar 2016
Transportasi Online vs Konvensional, Apa sih yang Diributkan?

 

Zetizen.com – Mau order Go-jek, Grab, atau uber tapi takut ada apa-apa di jalan? Well, demo sopir angkutan konvensional yang terjadi di Jakarta kemarin (14 & 22 Maret) emang bikin was-was. Demo anarkis yang menuntut layanan transportasi berbasis aplikasi itu bikin kita jadi mikir, emang yang salah siapa sih? Sudah bukan waktunya cari-cari kambing hitam. Kita butuh solusi. Biar kamu tahu akar permasalahannya, nih Zetizen jawab pertanyaan yang mungkin menggantung di pikiranmu soal angkutan konvensional versus aplikasi. (dhs/sam)

 

Apa sih yang diprotes sopir layanan transportasi konvensional? Gara-gara jumlah penumpang turun terus langsung nyalahin Go-jek, Grab, atau uber gitu? 

Sebenarnya demo para sopir itu nggak cuma karena iri sama layanan transportasi online yang ramai peminat. Emang jumlah penumpang mereka turun drastis. Tapi sadar nggak sih kenapa segitu gampangnya orang beralih ke angkutan berbasis aplikasi? Di samping praktis dan mudah, alasan utamanya ialah karena tarif angkutan yang murah.  Berikut tarif Grab dan Uber. Jauh lebih murah kan dari transportasi konvensional?

 

Nah kenapa angkutan transporasi nggak diturunin aja harganya biar bersaing?

Nyatanya nggak semudah itu. Setiap sopir harus menyetor ke perusahaan sekitar 50 persen dari pendapatan harian. Sedangkan angkutan berbasis aplikasi juga harus menyetor, tapi cuma 20 persen.  Perusahan transportasi harus memotong sebesar itu karena harus membayar pajak, perizinan, dll. Nah sedangkan yang basisnya aplikasi?

 

Emang jasa angkutan berbasis aplikasi nggak bayar pajak?

Mereka bukannya nggak bayar pajak kendaraan. Namun pajak yang dibayarkan bukan untuk kendaraan umum. Sebenarnya perusahaan angkutan umum harus punya sejumlah izin seperti, izin perusahaan berbadan hukum dan ikut KIR (uji kendaraan bermotor). Perusahaan jasa transportasi online lebih murah karena nggak menaati aturan tersebut. Makanya para sopir itu menuntut perlakuan yang sama, yakni agar jasa transportasi online punya izin usaha, bayar pajak, asuransi, dan kendaraan mereka harus pasang plat kuning. Dengan dibebani kewajiban yang sama, diharapkan tarif keduanya bakal bersaing.

 

Kok bisa sampai ada demo sopir yang anarkis gitu? Manajemen perusahaannya kok nggak bisa ngatur pegawainya sih?

Perusahaan Blue Bird sendiri sudah menyatakan kok bakal ngasih sanksi ke sopir mereka yang ikutan demo karena nggak sesuai visi mereka. Jadi kabar bahwa perusahaan mengizinkan sopirnya ikut demo itu hoax. Sopir-sopir yang terlibat dalam demo anarkis kemarin adalah pegawai yang melanggar aturan dan bakal diproses sesuai kebijakan perusahaan.

 

Lalu pemerintah ngasih solusi apa biar jasa angkutan transportasi berbasis aplikasi dianggap legal?

Pemerintah memberikan dua opsi ke uber dan Grab. Either mereka harus memilih jadi operator transportasi atau tetap sebagai provider. Kalau memilih jadi operator mereka hanya sebagai perantara, sedangkan memilih sebagai provider berarti mereka harus memenuhi aturan layaknya layanan transportasi konvensional. Mereka hanya punya badan hukum atau koperasi, memasang argo, mendaftarkan kendaraan, dan ikut uji KIR.

RELATED ARTICLES

Please read the following article