Are You a Zetizen?
Show Menu

Review Film: Merekam Pelarian sang Penyair Buronan

Zetizen Zetizen 21 Jan 2017
Review Film: Merekam Pelarian sang Penyair Buronan

 

Judul : Istirahatlah Kata-Kata

Sutradara : Yosep Anggi Noen

Durasi : 95 menit

Genre : Biopic

 

 

Oleh: Reno Surya/Zetizen

 

Zetizen.com - Karya sinema yang menarasikan ulang napak tilas aktivis memang selalu menarik perhatian. Riri Riza, menawarkan film Gie yang menceritakan aktivis peranakan Tionghoa Soe Hok Gie pada 2005 dan Garin Nugroho menyajikan Soegija, seorang pastur pertama dari Indonesia pada 2012. Keduanya terbukti berhasil mengokupasi kotak-kotak sinema Indonesia pada kali itu. Sama halnya seperti yang dilakukan Yosep Anggi Noen. Ia mengubah kisah-kisah kecil dari penyair asal kota Solo, Widji Thukul, yang hilang 19 tahun silam tersebut ke dalam karya sinema berdurasi 95 menit. Melalui sastra dan sajak-sajak liarnya, Widji Thukul berhasil meruntuhkan pemerintahan Rezim Soeharto. Dianggap berbahaya, pria dengan gaya bicara cadel ini, dihilangkan. Hingga hari ini, tak satu orang pun tau rimbanya.

Menjadi salah satu pengarang yang mengimani Subcomandante Marcos, Widji Thukul dengan teguh mempercayai bahwa “Kata-Kata adalah Senjata”. Benar saja film berdurasi 105 menit itu pun berhasil menarasikan ulang puisi-puisi yang ditulis Widji selama masa pelariannya dengan indah. “Istirahatlah kata-kata, kita bangkit nanti,” adalah penggalan prosa yang merekam titik depresi Widji dalam pelariannya.

Namun, jika kalian berharap Yosep Anggi akan menceritakan bagaimana sosok Widji ini menggerakkan ribuan buruh PT. Sritex, kalian akan keluar dari gedung bioskop dengan wajah lesu tertunduk kecewa. Yosep Anggi menolak mengglorifikasi alias mengagungkan sosok Widji. Ia justru menceritakan sosok Widji sebagai seorang buronan, seorang ayah, seorang suami, serta seorang yang merindukan kebebasan. Lika-liku alur kehidupan bak bromocorah dilewati oleh Widji.

Pendekatan realis Yosep Anggi terbilang sukes, ia berhasil menceritakan kejadian-kejadian kecil yang dialami Widji dalam sebuah simbol. Ambil contoh, saat itu Widji dan rekan yang menampungnya di Pontianak memutuskan menghabiskan malam untuk membeli tuak, yang konon dapat mengobati penyakit insomnia akut Widji. Di tengah jalan, Widji dan rekannya bertemu dengan seseorang warga setempat yang berpakaian tentara. Warga itu pun menghentikan perjalanan mereka serta memeriksa KTP. Wajah Widji yang mulanya girang berubah menjadi pucat pasi. Secara semiotik, hal itu menunjukan betapa disudutkannya seorang Widji dalam masa pelarian panjangnya.

Teknik pengambilan gambar yang didominasi oleh long-shot menambah dramatis film ini. Skema penceritaan yang lamban, tak pernah dilepaskan oleh Yosep sejak film panjang pertamanya yakni Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainya. Seolah sudah menjadi ciri khas, tone yang dihasilkan oleh film ini bak membawa memori kita kembali di era film awal Garin Nugroho pada era 1990-an. Tak kalah lah, jika dibandingkan dengan La La Land yang namanya melejit belakangan ini.

Menolak menceritakan sosok Widji dari sudut pandang tokoh yang revolusioner adalah pilihan Yosep Anggi paling tepat. Pasalnya, Yosep Anggi tidak ingin pria berambut keriting ini menjadi objek eksploitasi dalam kaus-kaus kaum hipster kaget ideologi, yang mungkin hanya tau puisi Sajak Suara yang digubah ulang oleh Homicide hasil download mp3 di kanal internet ilegal. Scoring film yang minim, menjadikan karya ini berkabut dan sunyi, dengan segudang pertanyaan sama halnya dengan kabar dari Widji yang hingga hari ini tak dapat kita ketahui secara otentik.

Pengambaran sosok Widji sebagai rakyat biasa, semakin jelas ditampakan pada pertemuan akhir dengan sang istri, Sipon, dirumah tempat ia awal memupuk asa, menyusun barisan kata dengan satu keyakinan: meruntuhkan penguasa. Sipon menangis tersedu saat ia harus mengemban label wanita simpanan dari tetangga, Hal itu pun berbuah kemarahan yang menggumpal tanpa tau harus berbuat apa. Disaat yang sama Widji sebagai suami dan aktifis pun merasa dilema. Pilihan harus memilih tetap tinggal demi keluarganya, atau kembali ke jalan dan melanjutkan perjuangan.

Hingga akhir cerita, ia memilih untuk keluar dari rumah, mengorbankan kebahagiaan keluarganya. Selama 95 menit, penonton dibuat tegang sekaligus larut dalam haru biru napak tilas sang penyair. Dan itu memuncak saat detik-detik akhir, Fajar Merah--anak bungsu Widji Thukul-- melagukan puisi bapaknya yakni Bunga dan Tembok, yang membuat air mata haru mata penonton pecah, tersayat, dan mengubah gedung sinema bak rumah duka.

Penceritaaan sosok Widji Thukul dari perspektif lain membuat film ini relevan bagi siapa saja, termasuk bagi mereka yang tidak mengenal sosok Widji. Disisi lain, Yosep Anggi menjadikan sinema sebagai medium perantara bagi generasi hari ini agar mereka sadar dan tau bahwa Indonesia memiliki sejarah gelap kemanusiaan yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Dan melalui Widji Thukul kita dapat mempercayai bahwa, seorang rakyat jelata dengan kata-kata, mampu menjadi senjata ampuh untuk meruntuhkan komplotan tiran otoriter bernama ORBA (Orde Baru).

 

Editor: Indrianingtyas

 

RELATED ARTICLES

Please read the following article