Are You a Zetizen?
Show Menu

Opu Daeng Risadju, Wanita Buronan Nomor Satu Belanda dari Sulawesi Selatan

Nusril Muchtadi Nusril Muchtadi 14 May 2017
Opu Daeng Risadju, Wanita Buronan Nomor Satu Belanda dari Sulawesi Selatan

Zetizen.com - Wanita nggak sepatutnya dipandang sebelah mata. Buktinya, sejak dulu sudah ada wanita-wanita tangguh yang ikut berjuang menyelamatkan bangsa. Sebut saja R.A. Kartini dari Jepara, Malahayati dari Aceh, dan Martha Christina Tiahahu dari Maluku. Eits, Sulawesi Selatan juga punya pahlawan wanita yang patut dibanggakan lho. Dia adalah Opu Daeng Risadju, pelopor Partai Syarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda. Seperti apa perjuangan Opu Daeng Risadju?

Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju (Foto: Blog Mulyono)

 

Siapakah Opu Daeng Risadju?

Opu Daeng Risadju adalah putri pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu. Dia lahir di Palopo pada 1880. Punya nama kecil Famajjah, Opu Daeng Risadju merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang didapatnya setelah menikahi H. Muhammad Daud. Sebagai keturunan bangsawan Luwu, sikap patriotisme tertanam pada dirinya. Dia mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan serta peribadatan dan akidah agama Islam.

Sejak kecil, Opu Daeng Risadju terbiasa membaca Al-Quran. Dia juga belajar ilmu-ilmu agama seperti Nahwu, Syaraf, dan Balagah. Sementara sang suami merupakan ulama yang pernah bermukim di Mekah. Nggak heran kalau Opu Daeng Risadju akhirnya menjadi salah satu tokoh perempuan yang kharismatis, khususnya di kalangan masyarakat Luwu.

Langkah Awal Patriotisme Sang Daeng

Sejak kenal H. Muhammad Yahya, Opu Daeng Risadju mulai aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Yahya adalah pedagang Sulawesi Selatan yang pernah bermukim lama di Jawa dan mendirikan PSII di Pare-Pare. Setelah bergabung, Opu Daeng Risadju dan suaminya membuka PSII di Palopo pada 14 Januari 1930.

Peresmian PSII Palopo disertai rapat akbar di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau). Rapat dihadiri pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat, dan masyarakat umum. Hasil rapat meresmikan Opu Daeng Risadju sebagai ketua. Sedangkan saudaranya, Mudehang, sebagai sekretaris. Mudehang dipilih karena dia tamatan sekolah dasar lima tahun yang bisa membaca dan menulis.

Sang Daeng dipenjara Belanda

Karena Opu Daeng Risadju berjuang dengan landasan agama, aksinya diawasi Belanda. Dukungan besar dari rakyat membuat Belanda menahan Opu karena dianggap menghasut. Opu pun diadili dan gelar kebangsawanannya dicabut.Tekanan yang juga diterima suami dan keluarganya membuat Opu berhenti dari PSII. Pada 1934, Opu dipenjara selama 14 bulan.

Opu kembali aktif pada masa Revolusi. Dia dan pemuda Sulawesi Selatan berjuang melawan NICA yang ingin menjajah Indonesia. Karena keberaniannya dalam melawan NICA, Opu menjadi buronan nomor satu selama NICA di Sulawesi Selatan. Too bad, dia berhasil ditangkap di Lantoro. Lalu dia dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki sepanjang 40 km. Tanpa diadili, Opu Daeng Risadju dipindahkan ke penjara Sengkang dan dibawa ke Bajo

Saat di Bajo, Opu Daeng Risadju disiksa Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Dia dibawa ke lapangan sepak bola dan disuruh lari berkeliling dengan diiringi letusan senapan. Setelah itu, Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari. Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapan di pundak Opu yang saat itu berusia 67 tahun. Ludo Kalapita meletuskan senapannya sehingga Opu jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Ludo Kalapita.

Akibat penyiksaan itu, Opu tuli seumur hidup. Setelah pengakuan kedahulatan RI pada 1949, Opu Daeng Risadju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya. Pada 10 Februari 1964, Opu Daeng Risadju meninggal dunia. Dia dimakamkan di lokasi makam raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan. 

“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”

Opu Daeng Risadju (1880-1964)

 

Editor: Ratri Anugrah

RELATED ARTICLES

Please read the following article