Are You a Zetizen?
Show Menu

Sensor Berlebihan, Siapa yang Disalahkan?

Zetizen Zetizen 13 Mar 2016
Sensor Berlebihan, Siapa yang Disalahkan?

Zetizen.com – Nggak cukup bikin shock masyarakat dengan gambar blur pada kebaya tradisional yang digunakan kontestan Puteri Indonesia 2016, Sandy di SpongeBob dan Shizuka-nya Doraemon pun jadi sasaran blur. Seriously? Setuju gambar itu nggak pantas ditonton publik?

Sesuai aturan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memang punya Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Boleh atau nggaknya sebuah tayangan disiarkan ada dalam dua bahasan tersebut. Termasuk larangan penayangan adegan kekerasan dan pornografi. Kalau ada yang nggak sesuai dengan aturan, baru deh dilakukan penyensoran. Banyak cara, bisa di-blur, jika ada kata kasar maka suaranya disamarkan, pemotongan scene, sampai dilarang tayang.

“Ketika tayangan muncul, sudah ada seleksi atau pem-filter-an dari lembaga penyiaran atau stasiun TV yang bersangkutan. Munculnya pem-blur-an adalah salah satu bentuk penerjemahan terhadap aturan dari KPI. Yang menarik, bagaimana aturan itu diterjemahkan oleh lembaga penyiaran, intinya mengelola sebuah tayangan, bisa berbeda-beda,” ungkap Kandi  Aryani SSos MA, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya.

Lembaga Sensor Film dan stasiun TV pun harus tunduk pada aturan itu. Sayang, banyak stasiun TV gagal paham. Mereka pengin main aman. Alhasil muncul fenomena blurring kebaya. #eh

Tokoh kartun kena blur sana-sini. Tapi sinetron yang ngajarin bolos sekolah, bikin geng motor buat adu balap liar dan banyak adegan bullying bisa tayang sampai ratusan episode. Jelas aja 75 persen Zetizen geregetan dan merasa pem-blur-an itu ngaco. Nggak pas sasaran sih.

Menurut Zetizen, banyaknya sensor blur yang dilakukan belakangan ini justru merusak estetika tayangan. “Estetika dan banyak aspek lain, seperti moral, budaya, identitas bangsa, sensitivitas nilai sosial dan kultural, kurang diperhatikan oleh lembaga penyiaran. Misal, perempuan yang mengenakan kebaya seolah-seolah diperlakukan sebagai objek seksual. Padahal, selama ini, kebaya tidak menjadi masalah karena pakaian tersebut menjadi tradisi,” imbuh Bu Kandi.

Menurutnya, sensor tersebut adalah multitafsir dari sebuah regulasi. Harusnya, lembaga penyiaran dan media bisa melihat masyarakat Indonesia yang multikultur dan majemuk, sehingga tayangannya memiliki sensitivitas secara kultural dan menjadi karya yang bisa dikomsumsi bersama secara cerdas. “Apabila ada kelompok-kelompok tertentu yang mengatakan tayangan itu terlalu dekat dengan praktik pornografi, perdebatan akan diselesaikan oleh publik,” lanjutnya. Tuh, penonton juga udah cerdas kok! (ivm/ris/c23/wka/sam)

RELATED ARTICLES

Please read the following article