zetizen

Dramaturgi XIII: Teater yang Sadarkan bahwa Kejujuran Itu Mahal

After School

Gedung kesenian Cak Durasim yang dipenuhi oleh penonton, Jum'at (29/12) (Foto: Hilmi Ananta/Zetizen Team)

SURABAYA - Makna yang dalam tak selalu berkaitan dengan hal-hal yang filosofis. Konflik sederhana khas rakyat kecil pun bisa memiliki pesan moral yang penting buat dicerna. Itulah yang didapat dari Dramaturgi XIII, event besutan mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Mengambil tema DesemBerdrama, secara langsung "diingatkan" untuk nggak mudah percaya dengan orang yang baru dikenal.

Acara yang diselenggarakan Jumat (29/12) kemarin itu menandai edisi ke-13 Dramaturgi, sesuai dengan namanya. Seri kali ini menampilkan pementasan teater dengan judul "Matahari di Sebuah Jalan Kecil" karya Arifin C. Noer. Lokasi yang menjadi saksi penampilan tersebut sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni di Gedung Kesenian Cak Durasim, Jalan Genteng Kali No. 85 Surabaya.

Matahari di Sebuah Jalan Kecil mengisahkan konflik sehari-hari masyarakat di suatu jalan kecil dekat pabrik es. Settingnya berada di sekitar tempat bernama Tanah Wali, pada tahun 1997. Dengan tokoh-tokoh yang representatif dengan rakyat kecil, yakni buruh pabrik, penjaga malam hingga penjual nasi pecel, terdapat beberapa konflik dalam cerita ini, seperti keluhan mengenai harga-harga yang semakin mahal hingga pabrik es tempat mereka bekerja yang hendak ditutup.

"Namun, konflik utama dari cerita ini mengenai tokoh Si Pemuda yang tak membayar nasi pecel yang telah ia makan," terang Tri Wahyu Setiawan, pimpinan produksi Dramaturgi XIII. Adapun yang menjadi spesial, para pemeran utama, kru, hingga sutradara Matahari di Sebuah Jalan Kecil merupakan mahasiswa Sastra Indonesia Unair sendiri!

Dalam cerita, si Pemuda tersebut beralasan pada Si Mbok bahwa uangnya tertinggal di rumah dan berjanji kembali untuk membayar makanannya. Namun, sebelum sempat ia meloloskan diri, ia dihadang oleh Si Kurus dan Si Peci. Berulangkali Si Pemuda menjelaskan bahwa uangnya tertinggal di rumah, namun mereka tidak memercayainya. Konflik pun bertambah panjang ketika Si Kacamata datang dan mengusulkan untuk menanggalkan pakaian Si Pemuda, lalu Si Pemuda bisa mengambil kembali pakaiannya ketika ia telah membayar makanannya kepada Si Mbok.

 

Si Kacamata, Si Kurus dan Si Peci memaksa Si Pemuda untuk melepas celananya sebagai jaminan (Foto: Hilmi Ananta/Zetizen Team)

Namun, ketika semua tokoh lain telah pergi dan menyisakan Si Pemuda berdua dengan Si Mbok, Si Pemuda mulai menampakkan rasa penyesalan. Dengan suara bergetar, Si Pemuda mengaku bahwa ia seorang perantauan yang hendak mencari penghidupan yang layak. "Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari saya lapar," ucap Si Pemuda, membuat hati Si Mbok trenyuh. Si Mbok kemudian teringat dengan anaknya sendiri yang tengah mendekam di penjara.

Dengan rela hati, Si Mbok menyerahkan pakaian itu kembali ke Si Pemuda dan membiarkannya pergi tanpa membayar. Tak lama berselang, Si Penjaga Malam memberitahu kepada Si Mbok bahwa ada penipu yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan Si Pemuda. Terkejut, Si Mbok menyadari bahwa ia telah ditipu dan hanya bisa terpaku pasrah oleh nasib yang menimpanya.

Tri Wahyu selaku pimpinan produksi pun menjelaskan alasan pemilihan naskah drama ciptaan Arifin C. Noer bukan tanpa alasan. "Seseorang pernah bilang kepada saya, jika kalian berani mengambil naskah Arifin C. Noer, berarti harus bisa berpikiran secara luas dan membedahnya hingga ke akarnya," terang laki-laki berkacamata ini.

Ia pun mengungkapkan moral value yang bisa dipetik dari pementasan drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil, yakni jangan mudah percaya kepada orang yang baru kita kenal. Sang sutradara, Bintang Versace Arsa juga mengungkapkan hal yang sama, "Di zaman ini, kejujuran adalah barang yang langka. Mari kita jujur untuk diri sendiri dan orang lain," terangnya.

Sebagai akhir, Tri Wahyu menyampaikan harapannya agar Dramaturgi seri-seri selanjutnya dapat terus berkembang. "Semoga minat masyarakat umum terhadap dunia teater lebih meningkat kedepannya," ungkapnya. 

 

Editor: Fahri Syadia