SEBAGAI seorang desainer, inspirasi untuk menciptakan sebuah karya yang unik tentu sangat dibutuhkan. Sumbernya bisa dari mana saja, mulai suasana hati, musik, pengalaman pribadi, hingga lingkungan sosial. Lisana Shidqin Aliyya, seorang mahasiswi jurusan kriya tekstil di Institut Teknologi Bandung, juga kerap menjadikan pengalaman pribadinya sebagai sumber inspirasi. Salah satunya, sweter yang dibuatnya untuk memenuhi tugas mata kuliah reka struktur 1.
Karya bertajuk Kiddosweater itu mengangkat tema kenangan masa kecil. ’’Sesuai dengan namanya, itu merupakan bentuk visualisasi dari memori masa kecil manusia. Saat kecil, kebanyakan di antara kita selalu minta untuk jadi dewasa secepatnya. Ketika sudah dewasa, kita merasa rindu sama masa kanak-kanak, masa yang paling membahagiakan. Kita bisa tidur, makan, dan bermain tanpa memikirkan hari esok. Jadi, aku ingin mengembalikan perasaan ceria itu lewat sweter ini agar selalu diingat,’’ tutur gadis yang akrab disapa Lisan itu.
Jika dilihat secara teliti, Kiddosweater memiliki detail yang unik dengan makna yang mendalam. Kotak-kotak kecil di sekitar sweter ibarat kenangan manusia saat kanak-kanak, baik itu memori bahagia maupun yang menakutkan. Untaian rumbai di ujung rajutan menunjukkan ketergantungan memori yang terekam sepanjang manusia tumbuh. Dalam proses pertumbuhan, setiap orang akan mengalami banyak tantangan. Dengan demikian, mereka akan selalu terikat dengan kepribadian saat ini dan memori masa kecilnya.
Kali ini Lisan memilih warna yang colorful untuk memberikan kesan ceria, semangat, dan fresh sebagaimana dunia anak-anak. Kuning yang menjadi warna dasar sweter melambangkan kegembiraan. Lalu, ada warna oranye yang bermakna semangat atau energi, hijau berarti tenang, dan biru muda yang memberikan efek kedamaian serta membuat siapa pun merasa percaya diri dan aman.
Menggunakan bahan bamboo yarn, milk cotton yarn, dan cotton rope, Kiddosweater dikerjakan dengan memakai tiga teknik. Yakni, crochet untuk bagian badan dan lengan, tapestry untuk bagian kotak dan rumbai, dan macrame untuk bagian tali kerah. Dibutuhkan waktu hampir dua bulan bagi Lisan untuk merampungkan karya tersebut. Dari mencari konsep hingga proses finishing. Semua tahapan dilakukan secara manual dengan mengandalkan keterampilan tangan.
’’Karena prosesnya memakan waktu yang cukup lama, dibutuhkan time management yang baik selama masa pengerjaan. Kami juga didorong untuk memperhatikan isu lingkungan dengan memilih material yang tepat. Jadi, aku sempat mengalami kesulitan sama benang yang aku gunakan. Sebab, benang-benang tersebut merupakan benang bambu yang ukurannya lebih kecil. Butuh effort yang ekstra,” jelas Lisan.
Kiddosweater cocok untuk siapa pun yang merindukan masa kecilnya. Meski nggak bisa mengulang masa tersebut, seenggaknya bisa merasakan euforia yang tertuang dalam Kiddosweater. Well, Kiddosweater rencananya dipamerkan dalam event rutin bertajuk Eco-week. Sayang, Lisan harus mengalami kendala teknis sehingga gagal ikut pameran. Meski begitu, Kiddosweater kini telah diketahui banyak orang berkat inisiatif pribadi Lisan. Good job and keep it up girl! (arm/c12/lai)