Zetizen.com - Dengan demografi penduduk yang beragam, penerapan inovasi di Indonesia punya lebih banyak tantangan. Nggak heran kalau inovasi besar kayak sistem transportasi online pun lebih cepat diterima di luar negeri. Nah, sebenarnya gimana sih keadaan sistem transportasi di luar Indonesia? Gimana keadaan transportasi online di sana?
Well, sebenarnya nggak jauh beda kok. Pada awal pengoperasiannya, transportasi online atau yang lebih sering kita kenal sebagai taksi online ini juga mendapat banyak penolakan. Seperti yang terjadi di Spanyol, Paris, atau Meksiko misalnya. Pengemudi taksi di kota kota besar dunia tersebut juga banyak yang melakukan protes hingga demo gara gara mereka merasa tersaingi dengan kehadiran taksi online.
Bahkan, di kota New York dan San Francisco Amerika Serikat, para supir taksi protes dengan cara yang cukup unik. Para pengemudi yellow cab (sebutan taksi Amerika) itu sengaja bikin macet jalanan kota supaya para pengemudi Uber, Sidecab, dan layanan taksi online lainnya terhambat buat mengantar jemput penumpangnya.
Nah yang bikin kasus di luar negeri ini jadi berbeda dengan yang terjadi di Indonesia adalah cara penyelesaiannya. Kalau di Indonesia masalahnya ‘berusaha’ di selesaikan dengan cara naik taksi gratis di keesokan harinya, di kota kota besar Amerika tersebut, justru pemerintah yang langsung turun tangan memberikan solusi. Solusi permasalahan itu pun akhirnya dibuat kedalam peraturan khusus di masing masing wilayah pemerintahan kota.
Jadi, selain harus memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) atau Driving License, pengemudi Uber, Lyft, Sidecab, dan layanan taksi online lain di Amerika juga harus mengurus Taxi License seharga USD 300 agar mobilnya bisa mengangkut penumpang. Nantinya, disetiap mobil yang beroperasi juga akan dipasangkan emblem pelat mobil berawalan TLC (singkatan dari Taxi) yang juga sebagai pembeda antara sopir taksi online di New York dengan kota lainnya di Amerika Serikat.
Taksi online disana pun dilarang mengambil penumpang secara langsung dari pinggir jalan, karena calon penumpang harus memesannya melalui aplikasi saja. Meski demikian, pendapatan para supir taksi online disana tetap bisa mencapai Rp 14 juta per hari. Hasil tersebut cukup dengan kerja normal selama 6-8 jam per hari saja tanpa harus lembur loh.
Kesigapan pemerintah serta toleransi dan rasa bersaing yang fair itulah yang akhirnya bikin masalah anatara taksi konvensional dan online di luar negeri sana cepat selesai. Hal itulah yang sayangnya belum bisa ditemukan dan diterapkan di negara kita tercinta ini. Anyway, kalau menurut kalian sendiri, apa sih solusi yang kira kira cocok buat mengatasi persaingan panas antara taksi online dan konvensional di Indonesia? Tulis di kolom komentar ya! (dhs/giv)