Zetizen.com - Ramainya Pemilu Amerika Serikat pada Rabu (8/11/2016) telah menyita perhatian seluruh dunia, khususnya warga Amerika sendiri. Terlebih, sebagian masyarakat 'bingung' atas kemenangan Donald Trump melawan Hillary Clinton. Beberapa peneliti pun bilang kalau 52% warga Amerika udah terserang election depression, alias depresi pemilu. Dilihat dari ciri-cirinya, depresi pemilu juga terlihat di Indonesia, lho! Memangnya apa sih depresi pemilu ini?
Menurut penelitian American Psychological Association, sebanyak 52% warga Amerika mengalami stres gara-gara Pemilu. Pasalnya, seorang sekali pun bisa terlibat debat panjang atau marah-marahan karena perbedaan pandangan politk. Hal ini berujung menjadi saling blokir media sosial antarpihak yang berdebat soal Pemilu. Sebagian orang pun hampir frustasi karena terganggu dengan ocehan-ocehan dan negative campaign yang disuarakan di media sosial.
Kayaknya, ciri-ciri depresi pemilu itu kelihatan juga di Indonesia lho. Buktinya bisa dilihat waktu terjadi demonstrasi besar 4 November 2016 lalu di Jakarta. Aksi damai yang tadinya berjalan tertib tersebut berujung ricuh selepas Magrib. Diduga, ada provokator yang sengaja memanfaatkan momen untuk memanaskan situasi. Yap, demonstrasi kemarin memang berkaitan dengan Pilkada. Demonstran menuntut aparat penegak hukum untuk mengusut Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang diduga melakukan penistaan agama. Nggak bisa dipungkiri, sejak saat itu masyarakat kita jadi terpecah-belah antara mereka yang mendukung Ahok dan mereka yang menganggap Ahok telah menyudutkan Islam. Tuh, sesama keluarga atau teman pun bisa ribut deh karena perkara ini. Ckckck...
Nah, menurut Psychology Today, tips utama buat kita supaya terhindar dari depresi pemilu adalah mengetahui batasan diri. Sebagai warga negara, kita memang berhak menyuarakan pendapat sebagai bagian dari negara demokrasi. Meski begitu, jangan sampai gara-gara debat soal pilkada atau Pemilu, hubungan pertemanan jadi hancur. Karena itu, hindari percekcokan yang nggak perlu. Selain itu, minimalisir baca-baca negative campaign di media sosial. Sebab, itulah yang kerap menyulut emosi.
Aksi unjuk rasa untuk menuntut hak dan menyampaikan aspirasi memang hak konstitusional setiap warga negara. Namun, hak tersebut sebaiknya diimplementasikan dalam tindakan yang bertanggung jawab.
Source: Today, Psychology Today
Edited by Mesha Mediani