Tarakan, Zetizen.com – Tidak semua anak punya kesempatan mendapat pendidikan dan masa kecil yang layak. Saat pemerintah sibuk mengubah kebijakan pendidikan, masih banyak anak di negeri ini yang cuma bisa bermimpi tentang masa depan. Beruntung, ada segelintir orang yang tergerak memberikan ilmu walau hanya sebatas mengenal alfabet dan angka. Ya, seperti itulah realitas yang disaksikan Tim Zetizen Tarakan, Rury Jamianto dan Andi Fauziah Latief, saat berkunjung ke Desa Ujang, RT 3, Perkampungan Semeriot. Perjalanan menuju perkampungan Semeriot itu tidak mudah. Lokasinya sangat jauh dan cuma bisa ditempuh dengan jalur sungai menggunakan ketinting perahu kecil berkapasitas tiga orang.
‘‘Jadi, waktu aku mengunjungi perkampungan Semeriot, butuh waktu enam jam perjalanan lewat sungai yang dipenuhi giram (arus sungai deras, Red). Beberapa ketinting yang kami tumpangi sampai goyang dan harus berhenti karena giramnya deras,’’ kenang Rury.
Rury sengaja datang untuk melihat secara langsung keadaan Sekolah Adat Punan Semeriot (SAPS), Sekolah Adat yang dibangun pertama kali di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pencetusnya adalah Sri Tiawati yang merupakan putra daerah Sekatak. ‘‘Sri membentuk Sekolah Adat itu berdasarkan ide yang muncul begitu saja. Sebelumnya, dia tidak sengaja bertemu sekumpulan anak di pedalaman Semeriot saat melakukan pemetaan wilayah adat,’’ jelasnya.
Setelah perjalanan panjang, perjuangan Rury dan Zia, panggilan akrab Andi, terbayar. Mereka takjub dengan kehidupan masyarakat setempat yang masih sangat bergantung dengan alam dan jauh dari kata modern. Mereka berdua pun disambut dengan luar biasa. Bahkan, Rury dan Zia sempat menjadi pusat perhatian berkat perlengkapan jurnalis seperti kamera dan lain-lain yang mereka bawa. Sungguh pengalaman yang tidak bernilai. ‘‘Kami melihat anak-anak mandi begitu saja di sungai, berenang, tanpa sampo, sabun. Inilah kenapa Sri membentuk Sekolah Adat ini. Selain pelajaran baca, tulis, hitung, ada juga pelajaran bagaimana merawat diri, mandi, dan mencuci tangan yang benar,’’ ungkap Rury.
Dari 21 kepala keluarga dengan jumlah 31 anak, tidak ada satu pun sekolah formal. Hanya ada satu sekolah SAPS yang dibangun Sri pada 2015 lalu. ‘‘Saya langsung ke SAPS, mencoba mengajar membaca dan menulis. Meskipun sekolah ini terbilang baru dibangun, saya sangat takjub karena mereka cepat tanggap meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali,’’ ceritanya.
Meskipun tidak punya fasilitas lengkap, anak-anak desa Semeriot tetap antusias belajar. Cara belajar mereka pun unik, tidak selalu di dalam kelas. Kadang di pinggir sungai, kadang di atas bebatuan. Hanya ada dua guru di SAPS, yaitu Sri dan Katerina yang juga tenaga pengajar sukarela. Sayangnya, tidak setiap hari mereka bisa datang mengajar. Cuma dua kali dalam sebulan saja karena keterbatasan dana dan akses.
Meski dalam keadaan serba terbatas, anak-anak Semeriot tetap punya cita-cita. Rury bercerita ada seorang anak bernama Januar. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu ingin jadi tentara nasional Indonesia. ‘‘Sebenarnya, dia pernah sekolah sampai kelas satu SD. Dia berhenti karena aksesnya jauh. Dia belajar di SAPS demi cita-citanya itu. Hanya Januar yang pernah sekolah di luar desa,’’ tambahnya.
Pengalaman unik juga dirasakan Zia. ‘‘Aku berinteraksi dengan mereka. Mereka antusias sekali saat aku uji menghitung 1 sampai 50. Rata-rata hapal. Bisa bayangkan betapa telaten dan sabarnya Sri dan rekannya mengajari hampir 40 anak?’’ tutur Zia. Bahkan, beberapa dari mereka, misalnya Lawing, siswa tertua sekaligus siswa pertama SAPS, bisa berbahasa Inggris meski cuma bertanya nama.
‘‘‘What your name?’ tanya Lawing. Aku menjawab dan dia balas bertanya lagi sampai tidak bisa menjawab. Aku berpikir, sebenarnya anak-anak ini punya potensi dan cerdas. Hanya saja, keadaan yang membuat mereka tidak bisa menempuh pendidikan formal. Mereka begitu ramah dan bahkan waktu kami akan pulang, mereka berharap kami bisa ke Semeriot lagi,’’ kenang Zia berkaca-kaca.
Melihat besarnya semangat anak Semeriot untuk mendapatkan pendidikan yang layak, Zia turut menaruh harapan besar agar suatu saat nanti cita-cita mereka bisa terwujud. ‘‘Memang ini adalah pengalaman yang sangat berkesan buat kami. Kami berharap akan ada perhatian dari pemerintah untuk anak-anak yang tinggal jauh dari kota. Sebab, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak,’’ tutupnya.
Penulis: Mega Retno (Zetizen Tarakan)