Zetizen.com - Bagi masyarakat Thailand, Bhumibol Adulyadej, 88, adalah sosok raja yang cerdas dan mengayomi rakyat. Dia menjadi raja sejak umur 19 tahun, menggantikan kakaknya, Ananda Mahidol, yang meninggal karena penembakan. Pada 13 Oktober 2016, Bhumibol menghembuskan nafas terakhirnya setelah 70 tahun bertakhta. Kepergiannya menimbulkan luka mendalam dan Thailand pun melaksanakan masa berduka selama satu tahun. Sebenarnya, apa yang membuat Raja Bhumibol sangat dicintai?
Terlahir bukan sebagai pewaris Takhta membuat Bhumibol pernah punya kehidupan biasa seperti kita. Saat dia lahir pada 5 Desember 1927 di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, raja yang memerintah Thailand adalah pamannya, Prajadhipok. Tapi, karena revolusi pada 1932, Takhta berpindah ke tangan kakaknya, Ananda Mahidol. Sayangnya, sang kakak terlibat penembakan misterius dan Bhumibol harus menggantikannya. Oleh karena itu, Bhumibol tahu betul kehidupan rakyatnya. Dia juga sering blusukan ke daerah terpencil di Thailand. Selain itu, Bhumibol banyak membantu masyarakat lewat proyek sosial.
Ayah Bhumibol ternyata mahasiswa kedokteran di harvard lho! Nggak heran kalau Bhumibol terlahir pintar. Bahkan, setelah kematian kakaknya, Bhumibol sempat kembali ke Swiss, negara yang pernah dia tinggali setelah ayahnya meninggal. Di sana, dia belajar political science and law di Universitas Lausanne. “I have to leave this capital and leave you because it is essential that I re-create myself,” katanya pada suatu radio saat itu. See? Meski menjadi raja, Bhumibol nggak pernah merasa paling hebat. Nah, di sanalah dia bertemu sang istri, Sirikit Kitiyakara. Oh ya, ternyata Bhumibol pintar main piano, klarinet, dan saxophone lho! Hebatnya lagi, dia fasih berbahasa Perancis dan Jerman. Wow!
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Bhumibol nggak pernah bertindak semena-mena tuh. Dia bahkan nggak menghukum masyarakat minoritas yang ketahuan menanam opium di Golden Triangle, sebuah daerah di perbatasan Thailand, Laos, dan Myanmar. Bhumibol justru mendirikan pusat penelitian untuk menemukan tanaman yang cocok untuk cuaca di sana. Setelah itu, warga setempat diedukasi tentang marketing. Alhasil, kehidupan masyarakat di sana menjadi lebih baik. Bahkan, Golden Triangle menjadi tempat yang memproduksi sayur dan buah terbanyak.
Edited by Ratri Anugrah