Zetizen.com - Menjadi seorang diplomat memang cita-cita yudi ashari putra sejak kecil. Yudi, panggilan akrabnya, berasal dari keluarga sederhana yang bahkan hampir tidak bisa bersekolah di jenjang SMA. Namun, dia kini berhasil menjadi salah seorang delegasi Indonesia di Harvard Project for Asian and International Relations (HPAIR) Conference Harvard University, Amerika Serikat, pada 17-21 Februari lalu.
Menginjakkan kaki di negeri Paman Sam seperti mimpi bagi Yudi. Sebab, rasa putus asa sempat menghampirinya. Sang ibu yang seorang buruh tani nggak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA. Namun, Tuhan berkehendak lain. Di hari terakhir pendaftaran SMA, ayah Yudi mengirimkan uang sebesar Rp.500 ribu yang cukup untuk membayar pendaftaran dan membeli seragam. “Saya girang luar biasa. Jalan yang hampir tertutup tiba-tiba terbuka kembali,” ujarnya. Kesempatan belajar di jenjang SMA nggak Yudi sia-siakan. Nilai akademis terutama dalam berbahasa Inggris terus diasahnya.
Lulus SMA, Yudi bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Walaupun dia dinyatakan gagal di Universitas Indonesia, dia nggak menyerah begitu aja. Berbekal uang Rp. 1 juta dia mencoba keberuntungannya ke Cikarang, Jawa Barat, dengan melamar pekerjaan. Namun, dia tetap ditolak oleh beberapa perusahaan. Akhirnya, mahasiswa kelahiran 2 Juli 1994 ini, menggunakan kemampuan berbahasa Inggrisnya untuk melamar sebagai instruktur bahasa Inggris dan diterima.
Keinginan Yudi untuk berkuliah mulai hidup kembali saat bertemu seorang mahasiswa President University yang juga menjadi instruktur bahasa Inggris di tempatnya bekerja. Namun, masalah biaya lagi-lagi menjadi penghalang. Tapi kali ini Tuhan berpihak kepadanya. Salah satu peserta kursus yang juga seorang wiraswastawan terkesan dengan kemampuan mengajar dan menilai Yudi memiliki potensi yang sangat besar.
Akhirnya, tahun pertama kuliahnya semua dibiayai oleh wiraswastawan yang dikenalnya. “Sejak tahun kedua saya dibantu langsung oleh kampus. Saya diangkat menjadi salah satu staf administrasi kampus yang dibayar. Bayarannya cukup untuk membiayai kuliah dan biaya hidup saya, apalagi saya juga masih menjadi instruktur privat kursus Bahasa Inggris,” kenang bungsu dari tiga bersaudara ini.
Prestasi pada saat menempuh ilmu di President University akhirnya membawa dia menjadi salah satu dari delapan mahasiswa indonesia yang mengikuti Konferensi harvard Project for Asian and International Relations (HPAIR) di harvard University. Dalam konferensi ini sebanyak 300 delegasi dari 50 negara hadir. Ada lima topik yang menjadi bahasan, dan Yudi masuk ke dalam panel masalah kemanusiaan. “Kami menggarap studi kasus terkait panel masing-masing. Saya kebagian membahas Hukou Policy di Tiongkok,” kata Yudi.
FYI, Hukou Policy adalah kebijakan di Tiongkok yang cukup kontroversial. Karena menyebabkan hak warga untuk mendapat pelayanan dasar tak terpenuhi karena tinggal tidak sesuai domisili yang tertera di KTP-nya.
Menurut Mahasiswa Hubungan Internasional ini, bahasan tersebut terasa dekat dengan kondisi Indonesia saat ini meski nggak sepenuhnya sama. “Membicarakannya dengan para delegasi 50-an negara dan pembicara yang sangat kompeten merupakan pengalaman luar biasa. Saya mendapatkan pengalaman langsung bagaimana masalah sekompleks ini dikuliti dan dianalisis,” ujarnya. Bagi Yudi, keikutsertaannya dalam konferensi ini semakin membuat dia teguh akan cita-citanya untuk menjadi diplomat Indonesia. Juga, dia yakin ilmu yang dimilikinya wajib dibagikan sebagai bentuk kontribusi.
"Saya makin yakin bahwa pusat perhatian saya di bidang kegiatan kemanusiaan dan kedermawanan sudah benar. Saya ingin bisa berkontribusi bagi banyak orang, terutama bagi anak-anak di wilayah terpencil dan di negara konflik atau miskin," tutupnya.
Written by Qatrunnada Rahmatika
Edited by Fanny Kurniasari