Zetizen.com - Sejak Presiden amerika serikat Donald Trump menyatakan Yerusalem sebagai Ibukota Israel, berbagai respon terus bermunculan. Selain protes, beragam aksi juga dilakukan untuk mengecam keputusan sepihak itu. Salah satunya adalah isu pemboikotan produk amerika serikat yang akan dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kalau isu itu benar, kita harus siap menghadapi hal-hal berikut ini.
Amerika Serikat itu negara super power. Sebab, bisa dibilang banyak negara menggantungkan bisnisnya pada Amerika Serikat. Misalnya, prosesor komputer yang kita pakai datang dari Amerika. Atau soft drink favoritmu juga produk keluaran mereka. Nggak heran kalau akhirnya Nur Iman Subono, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengatakan kalau pemboikotan itu nggak realistis.
"Buat mendengar pernyataan kontroversial Trump dari internet, Indonesia masih menggunakan piranti yang datang dari Amerika. Lalu, gimana cara memboikutnya?" ujarnya dalam sebuah wawancara. Kan nggak mungkin melepaskan semua produk buatan Amerika yang kita gunakan sehari-hari.
FYI, dengan memboikot salah satu produk Amerika Serikat, artinya kita juga memboikot keterlibatan negara lain. Sebab, berbagai produk rekaan amerika serikat merupakan hasil kerjasama. "Jadi, memboikot produk amerika serikat bisa salah sasaran," lanjut Nur Iman.
Misalnya, industri makanan cepat saji atau hiburan. Mustahil kalau amerika serikat menciptakannya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Nggak jarang dalam industri-industru itu orang-orang Yahudi atau negara Israel juga dilibatkan. Apalagi, sekarang kekuatan teknologi di Israel semakin kuat dan diyakini akan melampaui Amerika Serikat. So, dengan memboikot produk suatu negara, dampaknya bisa meluas.
Sebagai negara berkembang, Indonesia cuma remahan rempeyek di antara banyak pihak yang bekerjasama dengan perekonomian Amerika Serikat. Artinya, apa yang dilakukan Indonesia nggak berdampak besar. Lihat aja Aksi Boikot produk France Wines yang terjadi pada 2003.
Aksi itu menyebabkan penjualan produk France Wine turun hanya sebesar 26 persen. Angka itu nggak banyak mempengaruhi industri dan juga proses produksi. "Alasannya, proses penjualan yang terjadi sebelum Aksi Boikot mampu menutupi kerugian paska berlangsungnya protes," ujar Larry Chavis, enterpreneurship professor dari Universitas North Carolina.
Fershtman dan Gandal, akademisi dari Tel Aviv University, pernah melakukan penelitian untuk menemukan efektivitas dari aksi boikot. Hasilnya, mereka menemukan bahwa justru negara yang melakukan pemboikotan jadi luntang-lantung karena nggak bisa memenuhi kebutuhan.
"Dengan memboikot produk dari salah satu negara, maka dia (pelaku pemboikotan) bakal menyengsarakan warganya karena nggak ada pihak lain yang menyediakan produk yang sama. Pemboikotan tanpa perencanaan ekonomi yang matang justru menjadi bumerang sendiri bagi suatu negara," tulis mereka dalam jurnal.
| Editor: Ratri Anugrah