Zetizen-Pernah nggak, mendengar ejekan dari orang lain hanya karena warna kulitmu lebih gelap? Tentu menyakitkan sekali mendengarnya. Apalagi, kalau itu dari orang- orang terdekat seperti orang tua. Tapi, coba ingat-ingat lagi, apakah kamu termasuk orang yang menganggap kulit gelap itu buruk? Kalau iya, mungkin kamu sedang terjebak dalam colorism.
Melansir time.com, penulis dan aktivis Alice Walker mengenalkan istilah colorism untuk kali pertamanya. Dalam bukunya, In Search of Our Mothers' Gardens, dia menulis bahwa colorism adalah perlakuan prasangka atau preferensial terhadap orang dengan ras yang sama berdasar warna kulit. Biasanya, colorism mengaitkan warna kulit yang lebih terang pada hal-hal positif. Hal ini tentu membuat si kulit terang mendapat hak istimewa dalam banyak bidang.
Apa bedanya dengan rasisme? Seseorang yang bersikap rasis secara nggak langsung juga colorist. Jika colorism mendiskriminasi warna kulit, rasisme mendiskriminasi ras. Jadi, colorism nggak tertutup kemungkinan terjadi dalam ras masyarakat yang sama.
Dalam sejarah, colorism terjadi karena praktik perbudakan di mana budak berkulit lebih terang mendapat tugas yang lebih ringan seperti menyapu, memasak, dan tugas rumah tangga lain. Sementara itu, budak dengan kulit lebih gelap akan dipaksa bekerja di luar seperti bekerja di ladang atau melakukan tugas yang lebih melelahkan. Bagaimana ya kalau di Indonesia?
"Kita pasti masih sering lihat kampanye brand kecantikan atau fashion yang ingin mengubah mindset masyarakat terkalt beauty standard di Indonesia. Tapi, masih ada juga yang menggunakan standar bahwa orang cantik dan ganteng itu putih, tinggi, kurus, dan sebagainya. Padahal, perempuan atau laki-laki terlihat menarik bukan hanya dari penampilan maupun warna kulit," tutur Bella Tobing, konten kreator yang juga mengampanyekan Stop Colorism melalui akun TikTok-nya, @2bellzky16.
Mayoritas orang Indonesia berkulit kuning langsat hingga sawo matang. Tetapi, karena colorism sudah sangat melekat, orang-orang berkulit lebih gelap cenderung berlomba mendapatkan kulit terang hanya untuk memperoleh penghargaan dari orang di sekitarnya. Alhasil, obsesi terhadap kulit putih ini dimanfaatkan oknum dengan menawarkan produk pemutih kulit dengan harga murah secara online. Padahal, bahannya sangat berbahaya sampai menimbulkan stretch marks hingga mengakibatkan kanker lho!
"Colorism itu berdampak pada krisis kepercayaan diri. Mereka yang berkulit gelap cenderung merasa rendah jika dibandingkan dengan orang kulit putih. Mereka jadi insecure, bahkan nekat suntik putih atau bleaching kulit, daripada mensyukuri apa yang mereka punya. Padahal, menurut aku, kulit putih ataupun gelap itu bukan masalah, yang terpenting adalah apakah kulit kamu itu sehat," imbuh Bella.
Lalu, gimana caranya keluar dari jebakan colorims? Stop bikin asumsi sendiri terhadap orang lain hanya karena warna kulit! Pada dasarnya, semua warna kulit itu cantik asal kita mampu menjaga kebersihan dan merawatnya dengan baik.
"Kecantikan yang dilihat dari mata itu membosankan. Kecantikan dari dalam yang akan membuat orang mengapresiasi lebih. Aku juga berkulit gelap, tapi aku bangga. Meski dulu pernah di-bully, sekarang aku senang bisa membuktikannya ke orang lain bahwa orang berkulit gelap nggak seburuk apa yang dipikirkan," tutup Bella. Yuk, mulai sekarang ubah mindset-mu untuk nggak merendahkan orang dengan kulit lebih gelap. Sebab, dunia akan lebih indah dengan beragam warna, bukan satu warna saja. (sak/ c12/rat)
Saat Kamu Dibeda-bedakan
Zetizen-Warna kulit sering dijadikan objek lelucon di antara teman seper- mainan. Sayang, hal ini sudah dimaklumi dalam masyarakat. Padahal, secara nggak langsung mereka melakukan colorism. Yuk, simak cerita Zetizen yang pernah menjadi korban colorism! (sak/c12/rat)
MEWAJARKAN SESUATU YANG SALAH
"Aku lebih sering dibedakan dengan saudara kandungku karena warna kulit kami beda. Orang-orang sering bilang, 'makanya, kalau keluar itu pake body lotion,' hanya karena mereka khawatir sama warna kulitku. Mereka juga khawatir sama masa depanku. Padahal, akulsendiri nggak masalah punya kulit seperti ini. Jadi, kata-kata kayak gitu aku anggap wajar, basa-basi.
Tapi, lama-lama kok malah nambah beban pikiran. Aku kalau ada orang yang masih menyinggung masalah perbedaan warna. Apalagi, banyak perusahaan yang menomorsatukan good looking. Mereka nggak hanya menganggap penampilan menarik dari cara berpakaian atau wangi badan, tapi juga dari paras wajah. Padahal, semua warna kulit itu sama saja kan?"
Adie Aulia
Institut Teknologi Sepluh Nopember Surabaya
AKU LEBIH DARI WARNA KULITKU
"Dari dulu sering dipanggil hitam, arang, dan semua yang merepresentasikan warna gelap. Ya karena kulitku cenderung gelap daripada sawo matang. Aku juga sering dianggap menimbulkan kesan preman. Bukan cuma dari segi penampilan, mungkin selebihnya karena warna kulit juga menjadi faktor pendukung buat mereka yang sepemikiran.
Jelas aku nggak terima. Dulu emosiku belum stabil sehingga sering keluar masuk ruang BK karena berkelahi dengan mereka yang mengejekku. Diskriminasi seperti itu menimbulkan kesan kalau orang berkulit gelap selalu 'salah'. Alhasil, aku jadi seperti orang lain, bukan diri sendiri. Tapi, mereka akhirnya tahu kalau kepribadianku lebih dari sekadar persepsi mereka tentang warna kulitku."
Alfito Firdaus,
Universitas Trunojoyo Madura