Zetizen.com - Biasanya fashion memiliki kesan glamor, keren, chic, imut, atau lainnya. Apalagi di era budaya pop sekarang, di mana fashion bisa jadi tolok ukur eksistensi seseorang. Tapi lebih dari itu, fashion juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi loh. Yap, kita juga bisa menyampaikan pesan atau menunjukkan aspirasi melalui pakaian yang kita gunakan. Misalnya tentang isu Politik dan sosial seperti beberapa campaign di bawah ini.
Ada banyak contoh ketika fashion digunakan sebagai alat penyampai tuntutan. Masih ingat soal warga kulit hitam yang ditembak di Amerika Serikat? Meskipun katanya keadilan sudah ditegakkan, tapi kenyataan keadilan bagi warga kulit hitam belum sepenuhnya terpenuhi. Alhasil pada Juli 2016, Women’s National Basketball Association (WNBA) mengganti seragam mereka dengan kaos hitam bertuliskan #blacklivesmatter. Ini menjadi bukti kalau mereka memang concern banget sama isu ini.
Nggak cuma itu, tuntutan akan persamaan dalam beragama juga dimunculkan. isu ini semakin kuat ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Kencangnya isu ini mendorong gerakan kesetaraan agama. Salah satunya adalah mengadakan fashion show pakaian wanita muslim. Dilakukan di New York fashion Week (NYFW), Anniesa Hasibuan, salah satu desainer asal Indonesia, berkesempatan menjadi desainer untuk runway ini. Tuntutan kesetaraan agama juga tampak dengan dimunculkannya pakaian renang untuk wanita muslim.
Aksi feminisme juga ditunjukkan lewat fashion. Kesetaraan gender memang masih menjadi isu hangat. Maria Grazia Chiuri, perancang busana asal Italia, memakai bidangnya sebagai designer untuk menyuarakan isu ini. Karyanya debut pada koleksi Christian Dior untuk musim gugur 2017. Tampak seruan berupa We Should All Be Feminist, The Future is Female, dan lainnya pada baju hasil rancangannya.
Hidup memang selalu penuh pilihan. Fashion juga ternyata bisa jadi sarana menunjukkan pilihan pribadi, loh. Contohnya adalah momentum Brexit, alias Britain Exit. Yaitu referendum untuk memutuskan ketergabungan Inggris Raya di Uni-Eropa. Momen ini memecah warga Inggris menjadi dua kelompok. Mereka yang setuju dengan ketergabungan di Uni-Eropa, dan sebaliknya.
Untuk menunjukkan pilihan, anak muda di Inggris menggunakan baju bertuliskan Stay dan In. Maksudnya adalah stay in alias mendukung ketergabungan Inggris di Uni-Eropa. Sedangkan sebagian besar generasi yang lebih tua mendukung keluarnya Inggris. Untuk itu, desainer Vivienne Westwood pun menggunakan baju bertuliskan Don’t let an older generation decide your future. Yah, meskipun Inggris akhirnya tetap keluar, setidaknya ada upaya mencoba, kan?
Isu-isu yang marak soal agama, gender, atau bahkan pilihan Politik bisa menimbulkan perpecahan. Dari banyaknya isu tersebut, munculah suara persatuan #TIEDTOGETHER. Hastag ini muncul karena keprihatinan atas terlalu banyaknya hal yang memecah-mecah manusia dalam kotak-kotak golongan. Digerakkan oleh BoF, alias Business of Fashion sebagai pionir, kampanye #TIEDTOGETHER ini dimunculkan di NYFW dengan bandana putih sebagai khas. Bandana itu diikatkan pada pergelangan tangan beberapa model.
Nggak berhenti di situ aja. Dukungan atas kampanye ini pun meluas. Buktinya, model Irene Kim, aktris Naomi Harris, dan CEO Calvin Klein Steve Shiffman pun tampak mengenakan bandana putih, meski nggak di pergelangan tangan, tapi sesuai dengan fashion style mereka.
Nah, terbuktikan kalau fashion ternyata nggak sekadar masalah kecantikan atau trend aja? Mereka nggak sekadar hidup dalam keglamoran pribadi, tapi juga concern sama hal-hal disekitarnya. Gimana, keren kan mereka? Kalau kamu punya keinginan bikin brand sendiri, ide ini bisa kamu coba juga, loh.
Sumber: Vogue, New York Times
Editor : Fanny Kurniasari