Are You a Zetizen?
Show Menu

ZETIZEN SPEAKS UP: Suara yang Jauh dari Timur

Zetizen Zetizen 26 Dec 2016
ZETIZEN SPEAKS UP: Suara yang Jauh dari Timur

‘‘Matahari itu terbit dari timur ke barat. Sama halnya dengan pembangunan, harusnya timur dulu yang bangkit berjaya, baru barat.’’

 

Zetizen.com – Itulah yang dikatakan kawan saya, Richard Janwar Masoara, sambil menggebu-gebu, saat saya pertama kali bertemu dengannya di sebuah perhelatan lomba dari Zetizen Jawa Pos di Trawas, Jawa Timur. Waktu itu malam hari, namun kantuk tidak menyurutkan semangat kami berdiskusi.

 

Pace Richard (begitu saya menyebutnya, kadang saya panggil Kak Richard) tinggal di Kota Sorong, papua Barat. Meski bukan berasal dari Bumi Cenderawasih, semangatnya memajukan daerah tempat tinggalnya lebih besar dari mayoritas putra-putri asli daerah. Bagaimana tidak, selain aktif di sekolah sebagai motor penggerak beberapa organisasi, dia juga aktif di berbagai kegiatan lingkungan.

 

Berkat aksinya itu, Zetizen Jawa Pos memberinya kesempatan untuk mewakili muda-mudi papua Barat untuk bermain dan belajar di Selandia Baru selama seminggu. Berkat kesempatan ini pula saya bisa bertukar pikiran dengannya, kesempatan yang jarang diperoleh anak-anak di Pulau Jawa, anak-anak yang (sok) modern di kota-kota metropolitan.

Pace Richard dan Saya (Aryo) saat di Selandia Baru

 

Dari diskusi-diskusi kami, ada satu hal yang menarik bagi saya. Menurut Kak Richard, adat istiadat di sana sering dipandang lebih tinggi dari hukum konstitusi negara. Misalnya, terjadinya perang suku yang menjadi semacam tradisi. Bahkan, pembunuhan bisa terjadi! Namun, hukum negara tidak mengatur atau tepatnya tidak mempan bagi mereka yang terlibat. Negosiasi antarkepala suku lebih diutamakan saat terjadi kematian. Saya penasaran. Saya pun bertanya kepadanya tentang otonomi khusus papua Barat. Bukankah dengan privilege yang demikian, seharusnya pemimpin daerah mereka bisa lebih tahu tentang kondisi masyarakat di papua Barat? 

“Iya, memang, Mas. Kepala daerah kami harus putra-putri daerah. Namun, apa ya... Mayoritas dari mereka malah sibuk mengurus kepentingan sendiri saat menjadi pejabat. Sedangkan pusat seakan tidak mau mendengarkan masalah-masalah kami,” jawabnya.

Kak Richard juga bercerita tentang kekayaan Indonesia di wilayah timur. Tentang indahnya Raja Ampat, pegunungan emas yang mereka miliki, hamparan padang rumput serba luas, dan lain-lain. Ya, saya percaya, mereka memang sangat kaya, sangat potensial. Pembicaraan berlanjut dan bergeser ke Gerakan papua Merdeka.

 

“Banyak kawan-kawan saya di sana tidak cinta Indonesia. Mereka merasa Indonesia saja tidak cinta mereka, mengapa mereka harus cinta Indonesia? Misalnya, lambang negara. Mengapa Garuda Pancasila menoleh ke kanan? Mengapa tidak lurus ke depan saja? Pembangunan terasa timpang. Kami yang di sebelah kiri peta Indonesia ini tidak merasa ditoleh oleh pemerintah.”

 

Kami berdua tertawa. Namun, di dalam hati saya ada sedikit tangis yang saya rasakan. Apalagi saat Kak Richard bercerita tentang banyaknya anak di Indonesia Timur yang memilih untuk tidak sekolah karena harus menempuh perjalanan jauh dan berbahaya.

 

Lalu, saya bertanya, “Kalau Kak Richard gimana? Cinta nggak sama Indonesia?”

Dia berkata, “Saya cinta, Mas. Itulah kenapa saya terus berkarya sebagai anak Bumi Cenderawasih. Saya ingin mengingatkan kawan-kawan bahwa tanah yang mereka anggap tanah kasowari (tanah perang) sebenarnya adalah Bumi Cenderawasih, bumi damai yang subur dan makmur.”

 

Saya terharu. Kalimat itulah yang membuat saya semangat bekerjasama dengannya. Saya beri Kak Richard banyak saran dan masukan tentang gerakan-gerakan pelajar yang mampu dilakukan kawan-kawan di papua Barat agar aspirasi mereka didengarkan otoritas. Saya juga bercerita tentang berbagai gerakan yang saya tekuni. Malam itu terkesan sangat gayeng, akrab. Saya merasa mendapatkan saudara dari peta Indonesia belahan lain. 

************* 

Pembicaraan itu berlangsung beberapa bulan lalu. Namun, saya teringat semua itu berkat sebuah unggahan di Facebook tentang cetakan uang baru. Yang dibahas adalah uang Rp 10.000 yang memuat wajah Frans Kaisiepo, seorang tokoh Indonesia Timur asal Biak, Papua. Beliau adalah Gubernur papua ke-4 dan diplomat dari papua saat Konferensi Malino pada 1946 yang membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat.

Frans Kaisiepo pada cetakan uang baru (Foto: Twitter)

Unggahan itu mendapat banyak komentar negatif yang mempertanyakan jasa dan kepahlawanan Frans Kaisiepo. Ini tidak adil, sangat tidak adil. Saat ditanya tentang kasus Freeport, banyak yang menggebu-gebu memaksa Indonesia untuk mengusir perusahaan asing. Seakan-akan paling nasionalis, paling defensif terhadap rakyat Papua. Banyak juga yang memaksa papua tidak merdeka agar mereka tidak menyuarakan perlawanan.

 

Namun, saat ditanya tentang jasa para pahlawan dari Papua, mereka tidak mau tahu. Padahal, berselancar di intertnet sebentar saja, mereka bisa tahu seluk-beluk Bapak Frans. Eh, mereka malah sibuk mengomentari, mencemooh, dan menghina, seakan-akan sosok itu seorang penjahat atau perampok negara. Saya yakin banyak pahlawan dari timur yang tidak pernah–atau jarang disinggung–di buku-buku sejarah umum. Sebut saja Johannes Abraham Dimara dari papua dan Johannes Leimena dari Maluku.

 

Bagi saya, ini suatu kejahatan, kejahatan kontradiktif. Kita ingin papua tetap bersama kita, tapi kita tidak mengenali Papua. Kita sibuk membanggakan Raja Ampat dan kekayaan emas di sana, tapi kita tidak bangga akan rakyatnya. Kita mendapat fasilitas yang jauh lebih banyak dari saudara kita di timur, tapi kita tidak menaruh rasa hormat terhadap mereka, tidak tahu betul apa yang mereka hadapi. Saat mereka mengeluh kepada pemerintah yang dianggap sebagai payung kedamaian, panas selongsong pelurulah yang mereka dapatkan.

 

Harusnya kita malu. Selama ini kita menganggap mereka sebagai anak tiri Indonesia. Kita sibuk berteriak tentang pelanggaran isu kemanusiaan di negara yang jauh di sana. Sedangkan saudara kita sendiri, yang untuk sekolah saja masih susah bukan main, kita acuh tak acuh.

 

Jika kita mau berbuat, kecintaan mereka akan tanah air harus dipulihkan. Kita harus menjadi bangsa yang dewasa, yang sudi melihat apa yang sebetulnya mereka perlukan. Kita harus hadir bagi mereka dan bagi siapapun yang juga merasa bertumpah darah Indonesia. Apabila itu saja tidak kita lakukan, apabila kita terus bersembunyi di balik kepalsuan, maka suara-suara jeritan mereka akan terus terdengar. Jika pengeras suara sudah tidak lagi bekerja, mulut sudah dibungkam, maka doa dan tangislah yang akan menghantui kita. (*)

 

Ditulis oleh Aryo Seno Bagaskoro,

SMA Negeri 5 Surabaya

RELATED ARTICLES

Please read the following article