Zetizen-Hari demi hari berlalu. Ternyata, Tanah Jawa nggak sedekat perkiraanku. Sesampainya di Bubat, aku langsung turun dari kereta dan meluruskan sendi-sendiku. Aaah, leganya.
Belum lama bersantai di Bubat, tiba-tiba terdengar suara prajurit kesakitan. Aku bingung! Panah-panah melayang di sekitarku. Putri Dyah langsung menarikku untuk mencari perlindungan. Derapan langkah kaki terdengar semakin keras. "Perang! Aku ditengah medan perang!" batinku. Kuingat- ingat apa yang terjadi saat Kerajaan Sunda sampai di Bubat. Oh iya, Patih Gajah Mada mengingkari janjinya. Bukannya menjemput Raja Prabu Maharaja Lingga Buana, dia malah menumpahkan darah di sini.
Baca juga:
Melampaui Bayang-Bayang
|
Aku pun pasrah. Jelas semua ini nggak nyata. Tapi, kenapa aku nggak kunjung bangun dan seolah-olah benar-benar ada di sini? Kalau aku mati, bagaimana? Tanpa sadar, air mataku mengucur deras. Putri Dyah pun ternyata juga ketakutan. Dia terus memperhatikan keadaan di luar. Saat tahu ayahnya tumbang, dia Ingin mengakhiri hidupnya.
"Jangan!" seruku saat melihat Putri Dyah mengambil jepit sanggulnya dan menusukkannya ke dada. Terlambat, darah segar mengalir dari tubuh sang Putri. Aku mencoba menolongnya, tapi apa yang bisa dilakukan cah Suroboyo ini? Selain sedih melihat seseorang meninggal di depan mataku, aku sedih karena ternyata sejarah nggak bisa diubah.
"Dyaaaah... bangunnn!! Ayo banguuuun!!" Aku mendengar suara ibuku. Suara itu pun terdengar semakin keras dan... Ah! Aku benar-benar ketiduran di atas meja kan! "Lapo kok malah senyum-senyum?" Tanya ibuku keheranan.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta - Bagian terakhir
|
"Nggak papa, Ma. Mimpiku uaneh pokoke," jawabku.
Aku pun memandang buku yang terbuka di hadapanku. Ternyata, Raja Hayam Wuruk akhirnya menyusul ke Bubat. Melihat pujaan hatinya tergeletak tak bernyawa, dia sangat sedih dan marah besar. Dia pun berambisi untuk menghentikan ketamakan Gajah Mada yang ingin menaklukkan Nusantara. Sementara itu, Raja Hayam Wuruk menganggap Kerajaan Sunda sebagai Saudaranya dan siap membantu dalam berbagai aspek. Yah, beginilah kasih yang berakhir ambisi.
Melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 6.30, aku bergegas siap-siap ke sekolah. "Aku nggak boleh telat ikut ujian sejarah, nih!" batinku. Sesampainya di kelas, teman-teman sibuk menghafal sejarah. Sementara itu, aku hanya senyum-senyum karena Perang Bubat masih terukir jelas di ingatanku. Aku yakin nilai ujianku pasti bagus! (*/c12/ rat)
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta- Bagian 1
|