Ketenangan dari suara deru kendaraan kembali masuk ke relung ingatan saya. Kemudian membuka kembali kotak memori berisi kenangan masa kecil saya. Saya Figo. Saya dilahirkan di keluarga yang sederhana dan serba keterbatasan, yang hanya memikirkan apakah esok bisa makan, tanpa opsi menu makanan di dalamnya. Lauk yang kami makan pun hanya sebagian kecil dari hasil panen sawah yang ayah kerjakan. Tempat tinggal kami sangat sederhana, hanya berupa rumah bambu yang reyot dan bocor. Namun, tempat tinggal itu lah yang menyimpan banyak kisah di dalamnya.
Masa sekolah adalah dunia kecil yang menyenangkan, meski saya harus berjuang di tengah keterbatasan. Keterbatasan yang saya miliki tidak membuat saya semakin terpuruk dan menyalahkan keadaan. Di tengah deretan buku bekas dan pena usang yang setia menemani, saya membangun impian untuk mengubah takdir keluarga saya. Saya percaya, bahwa tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Saya memang serba keterbatasan, tapi saya percaya tekad yang saya miliki bisa membawa saya menuju kesuksesan. Sadar akan segala keterbatasan, saya berusaha untuk meraih impian dengan mengejar beasiswa. Saat itu, beasiswa keluar negeri adalah pintu emas menuju impian yang lebih besar.
Saya pikir seluruh penderitaan akan berakhir ketika saya berada di luar negeri. Banyak kesulitan yang saya lalui, mulai dari saya merasa sendirian saat awal tiba hingga saya perlu menyesuaikan lagi dengan bahasa yang asing saya dengar dan makanan yang tidak biasa saya makan. Awalnya saya merasa tidak nyaman dengan semua kebiasaan asing itu, hingga akhirnya saya merasa terbiasa untuk tinggal disana. Negara asing yang saya tinggali ternyata tidak seburuk itu. Saya bisa menghirup udara segar, saya bisa mendapatkan banyak ilmu baru, belum lagi saya selalu disuguhkan dengan canggihnya teknologi disana. Untuk mencari uang juga tidak sulit, saya bisa bekerja part-time untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga:
Semangat Gapai Mimpi Tanpa Batas
|
Hingga saat itu tiba saya mengerjakan thesis. Gelapnya kenyataan mulai terkuak. Mendapatkan gelar magister bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pertanyaan besar. Mulai terlintas di pikiran saya apakah saya akan melanjutkan bekerja di luar negeri? Atau kah saya akan kembali ke Indonesia untuk mengabdi di tanah air saya? Kegelisahan menyelimuti hati saya, terlalu banyak kekhawatiran. Mulai dari saya khawatir tidak akan cukup secara materi hingga khawatir sulit mencari pekerjaan. Akan tetapi, saya mulai bertanya pada diri saya sendiri. Apa yang saya kejar? Apa tujuan hidup saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meski sederhana, seakan-akan mengguncang pondasi impian. Hingga pada satu titik, dalam keheningan malam, saya menemukan jawaban di antara keriuhan bisikan hati. Saya memutuskan untuk pulang.
Saya dengan bangga memperkenalkan diri saya kembali, Saya Figo, seorang magister yang saat ini bekerja di daerah terluar, yang juga menjadi surga tersembunyi di timur Indonesia. Saya sadar bahwa mimpi untuk bekerja di negeri orang merupakan mimpi saya pribadi. Beberapa orang juga sempat mencemooh saya, "Buat apa kuliah jauh-jauh di luar negeri kalau hanya untuk bekerja di daerah pinggiran?", tetapi menurut saya tidak hanya itu. Saat merenung, saya menyadari bahwa cita-cita saya ternyata tidak semudah yang saya kira. Meski saya berharap bisa bekerja di luar negeri demi kesejahteraan ekonomi, tetapi di dalam hati saya, keinginan lebih besar adalah menjadi manusia yang bermanfaat. Salah satu jalur yang saya pilih untuk menggapai impian itu adalah kembali ke Indonesia dan melakukan pengabdian.
Pulang bukan akhir dari cerita, melainkan bab baru. Saya membawa kembali sejuta mimpi dan memulai jejak pengabdian di tanah air. Fokus saya saat ini adalah membantu mereka yang keterbatasan, yang mungkin bernasib sama seperti saya dahulu dan sedang mencari secercah harapan. Kecintaan saya terhadap tanah air juga membawa saya hingga berada di titik saat ini. Melalui perjuangan untuk membangun daerah terpinggir bersama dengan matahari terbenam yang meciptakan lukisan berwarna-warni di langit serta suasana tenang dan damai di pulau yang sempurna untuk menghindar dari hiruk-pikuk perkotaan, saya berusaha memberikan dorongan pada mereka yang memiliki keterbatasan. Memberdayakan orang-orang kecil untuk tumbuh dan berkembang, seperti tanaman yang merambat di kebun yang ayah saya rawat dulu.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta - Bagian terakhir
|
Cerita ini adalah bukti bahwa kembali pulang bukanlah langkah mundur, melainkan langkah berani membawa perubahan. Di tengah deru ombak yang bergemuruh, saya ingin berteriak lantang bahwa saya bangga menjadi anak Indonesia. Saya Figo yang dulunya hanya anak kecil sederhana, kini berdiri di tengah ladang harapan. Sebagai anak bangsa, saya berkomitmen untuk terus mengabdi dan memajukan negeri dengan langkah kecil yang penuh makna.