Zetizen.com - Pada awal 2018 ini, film Hoax wajib masuk jajaran Film Indonesia yang wajib ditonton. Disutradarai Ifa Isfansyah, film ini mengusung kisah kakak-beradik Ragil (Vino G. Bastian), Raga (Tora Sudiro), dan Adek (Tara Basro). Beranjak dewasa, mereka masih menjalin hubungan erat dan akrab dengan sang Ayah (Landung Simatupang).
Layaknya kita, keluarga kecil ini punya masing-masing rahasia yang justru jadi bumerang bagi mereka. Premis sederhana tersebut ditampilkan dengan epik selama 100 menit. Eits, jangan bayangkan film Hoax akan menghibur kamu seperti layaknya film bergenre drama lain ya. Justru selama berlangsungnya film, otakmu akan diperas dan didorong sedemikian rupa untuk menemukan jawaban pertanyaan yang ada di bagian akhir.
Awalnya, film Hoax dipersiapkan untuk berbagai festival. Diproduksi sejak 2011, film ini lebih dulu dirilis di UK pada 2013. Tahun ini pun menjadi tahun pilihan Ifa dkk untuk meluncurkan Hoax di kancah perfilman Indonesia. Seperti tipikal film-film festival lain, Hoax menampilkan hal-hal kecil dan sederhana yang bagi sebagian orang justru terlihat membosankan.
Misalnya, rintik hujan dari atap yang bocor hingga scene ketika Raga dan Sukma (Aulia Sarah) berada di dalam mobil. Oleh karena itu, film yang awalnya berjudul Rumah dan Musim Hujan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang jeli dan teliti menemukan inti utama dan kesimpulan dari keseluruhan film. Sebab, Hoax mengangkat premis yang nggak biasa.
Film ini diawali adengan di ruang makan, di mana seluruh pemeran duduk sambil bernyanyi dan bertepuk tangan. Di tengah permainan, Adek mendapat telepon dari Mama (Jajang C. Noer) yang bercerai dari Ayah agar segera pulang. Setelah berpamitan, Adek pun pulang. Begitu juga dengan Raga. Masalah dimulai ketika Adek menemukan sosok gaib yang menangis di pinggir jalan sementara Raga menguji kepercayaan Sukma dengan menyetir sambil menutup mata. Sementara itu, Ragil tampak sibuk menemani dan menyiapkan kegiatan Ayah yang mulai renta.
Uniknya, film ini mengajak penonton menyusun potongan puzzle dari perspektif berbeda. Dari sisi Ragil, si anak alim, kita akan diajak menelisik kehidupan keluarga sederhana dengan berbagai kegiatannya. Seperti memasak hingga merenovasi genteng rumah. Alur yang lambat kadang membuat kita luput memahami kebohongan macam apa yang dibuat olehnya.
Sementara itu, Raga tiba-tiba didatangi mantan kekasihnya yang menjadi korban kekerasan dari suaminya sendiri. Konflik yang cukup jelas ini pun akan menggiring penonton pada suatu konklusi sederhana dan melupakan detail-detail tertentu. Misalnya, ekspresi dan gurat-gurat wajah yang tampak di wajah Raga.
Di sisi lain, aplaus layak diberikan pada tara basro yang memerankan Adek. As always, Tara selalu mampu menunjukkan ketakutan dan juga kegelisahan dengan jelas. FYI, film Hoax merupakan gabungan dari genre thriller, drama, dan juga komedi. Dibandingkan dengan pengisahan Ragil dan Raga, ketiga genre tampak jelas dari kisah milik Adek. So, di akhir cerita akan lebih sulit menebak apakah Adek berbohong atau tidak. Ciamik!
Secara keseluruhan, film Hoax benar-benar memenuhi ekspektasi dan juga keinginan sebagian orang yang merindukan film tentang keluarga. Dinamika dan juga konflik disajikan dengan nyata dan pas sejak awal hingga akhir. Tone warna yang dipilih pun seolah memberikan kehangatan tersendiri bagi para penonton. And yes, Ifa Isfansyah benar-benar pandai mengoyak perasaan para penonton dengan soundtrack yang gila abis!
Setelah hampir satu jam dihujam lagu-lagu pilu, film akan ditutup dengan musik yang menghentak, seolah mengajak penonton untuk bergembira karena menemukan jawaban yang dilemparkan sebelum credit title ditampilkan. Yap! Ifa mengajak kita berjoget ria sambil meninggalkan studio.
Satu-satunya hal yang menurunkan performa film Hoax justru terletak pada kurangnya kejelian dan ketelitian para penonton dalam mengamati gerak gerik, ekspresi, dan tragedi yang menimpa para pemeran. Alhasil, after taste atau sensasi ketagihan selepas keluar dari studio nggak akan dirasakan oleh orang-orang yang nggak jeli.
Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang benar-benar mengamati keseluruhan film sekaligus mampu memaknai nilai-nilai kekeluargaan yang tersirat. Kekurangan film ini seolah mengingatkan kita bahwa pada dasarnya cuma kita satu-satunya orang yang bisa menciptakan kesalahan sekaligus memperbaikinya. Jadi, siapa yang bohong?