Zetizen.com – Film Train to Busan (2016) ternyata berhasil menyedot perhatian pecinta film di Indonesia. Sejak ditayangkan pada 31 Agustus, film garapan sutradara Yeon Sang-ho ini terus mendapat respon positif. Apa sih yang bikin film ini sangat disukai? (ndy/rat)
Warning: Spoiler Alert!
#1 Patahkan Stigma Korea cuma Bisa Produksi Film Drama
Nggak bisa dipungkiri kalau ada rasa skeptis sebelum menonton Train to Busan. Bagaimana mungkin industry Film Korea Selatan bisa meracik film bergenre zombie apocalypse seepik Hollywood? Apalagi, film-film hits Korea Selatan kebanyakan bergenre drama yang banjir emosi dan menguras air mata.
Tapi, setelah melewati scene demi scene, rasa skeptis itu menghilang. Jalan cerita film berdurasi 118 menit ini terus mengalir dengan enak sehingga mudah dicerna. Satu per satu kisah para tokoh ditampilkan tanpa membuat penonton bosan. Semuanya disusun apik menuju klimaks dimana seorang cewek terserang virus zombie. Virus itu menyerang seluruh penumpang bullet train KTX (Korean Train Express). Orang-orang pun berusaha menghindar dari buruan zombie.
#2 Teror Zombie Agresif dan Makin Masif
Train to Busan mengadaptasi sifat Zombie masa kini yang berlari sangat cepat dan sangat agresif. Teror makhluk itu diceritakan terus mengganas dan jumlahnya semakin menggila. Hal itulah yang membuat jantung penonton terus digedor. Hebatnya, Yeon Sang-ho menutup rapat semua celah yang memungkinkan penonton untuk menebak siapa yang berhasil selamat.
Tapi, ada sedikit kelemahan dari karakter zombie. Misalnya, para Zombie menjadi buta dalam gelap. Mereka nggak bisa melihat mangsa jika pandangannya tertutup atau saat mangsa menutup wajah. Sifat itu terkesan ‘‘aneh’’ karena berbeda dari stereotip Zombie selama ini.
#3 Karakter Realistis, Kental Budaya Ketimuran
Meski pace stori dijaga cukup ketat, aksi yang ditampilkan nggak kalah menegangkan. Train to Busan masih memegang pakem Film Korea yang sukses mengaduk perasaan. Beda dengan kisah Zombie pada umumya dimana karakter utama digambarkan dengan sedikit unsur fantasi atau pasukan dengan misi impossible, seluruh karakter dalam film ini sangat realistis.
Kisahnya dimulai dari sang tokoh utama, seorang ayah bernama Seok Woo (Gong Yoo). Dia berusaha memahami kerinduan anaknya, Soo An (Kim Soo-an) terhadap sang ibu kandung. Lalu, ada tokoh lain, yaitu Sung Gyeong (Jung Yoo-mi), seorang wanita yang hamil besar dan suaminya, Sang Hwa (Ma Dong-sik). Mereka kebetulan bertemu Soo An di toilet kereta.
Biasanya, dalam film Zombie Hollywood, karakter utama diceritakan lewat kisah dramatis, survive sendiri, dan menggempur Zombie dengan alat canggih. Nah, dalam Train to Busan, sifat-sifat para karakternya kental dengan budaya timur. Saat menyelamatkan diri pun mereka tetap peduli dengan sesama. Bahkan, suprisingly, Soo An masih memperlihatkan sikap sopan santun.
#4 Suasana Klaustrofobik nan Mencekam
Seperti halnya cerita zombie apocalypse, para karakter terus-menerus dikejar zombie. Meski begitu, suasananya nggak sama seperti saat menonton World War Z (2013), Zombieland (2009), atau Walk of the Dead (2016) kok. Sebab, Train to Busan mengusung suasana klaustrofobik (terkungkung daam ruang tertutup) di dalam kereta. Latar ceritanya sangat mencekam. Semakin para karakter susah melarikan diri, hati penonton pun semakin ketar-ketir.
#5 Terbukti Berkualitas, Sempat Ditayangkan di Cannes Film Festival
Last but not least, selain beberapa kritik yang menganggap film ini kurang pas dianggap bergenre zombie, Train to Busan mendapat kehormatan untuk premiere perdana pada Mei 2016 di Cannes Film Festival, festival film yang menjadi tolak ukur jaminan film berkualitas baik.
Selain itu, Train to Busan juga memecahkan rekor sebagai Film Korea pertama yang berhasil menembus 10 juta penonton di tahun 2016. Biar bisa menyimak cerita prekuel Train to Busan, yakni Seoul Station, jangan lewatkan menonton film ini di bioskop kesayanganmu ya!