Zetizen-Diproduksi Sony Pictures Animation dan didistribusikan Netflix, The Mitchells vs. the Machines bercerita tentang keluarga dysfunctional yang mengalami kesulitan untuk saling memahami. Sang anak, Katie Mitchell (Abbi Jacobson), adalah maniak film dan akhirnya diterima di universitas jurusan film di mana dirinya bisa bertemu ”orang-orang sejenisnya’’. Sebab, di rumah, dia merasa nggak ada yang bisa memahaminya. Khususnya sang ayah, Rick (Danny McBride).
Ayah Katie ini nggak melek teknologi. Dia sangat menyukai alam dan merasa bahwa alam sudah provide segalanya untuk kebutuhan manusia. Nah, dalam rangka bonding dengan sang anak sebelum masuk kuliah, dia mengantar Katie dengan naik mobil beserta istri, Linda (Maya Rudolph), dan anak bungsunya, Aaron (Mike Rianda). Hal itu jelas bikin Katie sewot karena dia jadi melewatkan kegiatan seru bareng teman-teman barunya.
Di tengah perjalanan, terjadi machine apocalypse di mana robot-robot pintar berbalik menyerang manusia. Gara-gara itu, keluarga Mitchells jadi kompak demi menumpas kejahatan. Bisakah keluarga yang nggak akur ini mengembalikan dunia seperti semula? Bisakah Katie dan Rick bekerja sama dan saling memahami?
Disutradarai Mike Rianda yang juga pengisi suara young Aaron, The Mitchells vs. the Machines diproduksi Phil Lord dan Chris Miller. Ternyata, film berdurasi 109 menit tersebut terinspirasi dari karya Lord dan Miller dalam The Lego Movie (2014) dan Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018). Jadi, kalau kamu merasa The Mitchells mirip dua film itu, ya memang penggarapnya sama! Guyonannya sampai visualnya mengingatkan kita pada Spider-Verse. Bahkan, proyek ini mengusung banyak hal viral di YouTube.
Sama dengan proyek Lord dan Miller sebelumnya, pengisi suara The Mitchelss vs. the Machines cukup apik. Jacobson nggak overplay karakter ”remaja aneh’’ yang menambah kesan confidence, bukannya cliché, kepada Katie. Begitu juga dengan McBride yang bisa membawakan peran ”emotionally reserved dad’’ yang nggak banyak terlihat di dunia entertainment belakangan ini. Fred Armisen dan Beck Bennett, pengisi suara sepasang robot yang menjadi sekutu keluarga Mitchell, juga menambah warna vokal dalam film.
Meski begitu, hal paling wow dalam The Mitchells vs. the Machine adalah desainnya. Garis-garis karakter yang kuat dan terlihat seperti goresan tangan membuat film ini seperti buku komik yang bergerak. Pssst… ada easter eggs tersembunyi lho untuk anak-anak YouTube. Pokoknya, film asal Amerika Serikat ini terus menginspirasi penonton saking kreatifnya. Nggak pernah sekalipun ada visual yang bikin bosen, baik untuk anak maupun orang tua. (c12/rat)
Zetizen-Sembari Katie dan keluarganya menempuh perjalanan panjang untuk menghentikan serangan robot pintar, Zetizen menemukan banyak referensi pop-culture yang disematkan. Nih, kita kasih tahu beberapa ya! (c12/rat)
Mengusung kisah penjajahan robot, jelas banget kalau The Mitchells vs. the Machine terinspirasi dari film franchise ini, khususnya Rose of the Machines (2003). Bahkan, film itu dibuka dengan penghormatan untuk Terminator 2 ketika robot PAL menginjak-injak sebuah smartphone layaknya Terminator menginjak tulang manusia.
Sebagai maniak film bergenre unik, nggak heran kalau dinding kamar Katie dipenuhi poster[1]poster film. Ada poster Isle of the Snake People, sebuah film Meksiko tahun 1971 tentang Frankenstein karya Boris Karloff, juga It Came from Beneath the Sea, sebuah film produksi 1955 tentang gurita raksasa yang menyerang San Francisco, dan masih banyak lagi!
Jangan melewatkan easter egg satu ini! Sebab, motif kaus kaki Katie sama dengan motif ikonik karpet Hotel Overlook dalam film The Shining karya Stanley Kubrick. Sebenarnya kamu bisa melihat motif ini saat logo Columbia muncul dan menjadi karakter Katie. Lalu, the torch lady memperlihatkan kaki kartun yang memakai kaus kaki Shining.