Zetizen-Maria punya kebiasaan unik. Saat berusia 10 tahun, dia suka berdansa di pinggir pantai setiap malam Minggu. Dengan izin orang tuanya, dia memilih bagian pantai yang sepi. Iya, Maria memang punya bakat istimewa dalam menari. Dia akan berputar-putar, ditemani embusan angin, disinari jutaan bintang, dan disaksikan deburan ombak. Orang tuanya tersenyum dari kejauhan. Tak heran kalau Maria berkali-kali memenangkan lomba.
Saat asyik menari sendirian, tiada yang tahu bahwa sebenarnya Maria bisa berbicara dengan ombak. ’’Ombak… Ombak…,’’ sapa Maria sambil menari gemulai. ’’Apakah kau pernah merasa kesepian?’’
Baca juga:
Melampaui Bayang-Bayang
|
’’Tidak, Maria. Ada pohon-pohon kelapa dan burung camar yang selalu menemaniku. Mereka tulus, mereka baik. Apalagi, ada kau yang sesekali mengunjungiku,’’ jawab sang Ombak. ’’Apakah kau kesepian?’’ imbuhnya.
Maria menggeleng. ’’Aku juga punya banyak teman. Aku bahkan punya penggemar. Hari ini mereka memujiku dan besok akan memujaku. Semua itu karena aku pintar menari. Aku cinta dunia tari!’’ jelas gadis itu dengan mata berbinar-binar.
Keistimewaan Maria dalam dunia tari tidak perlu diragukan lagi. Ibunya adalah guru dansa, sedangkan sang ayah merupakan seorang musisi. Darah seni mengalir dalam tubuhnya. Maria sangat senang menari. Dia ingin menjadi penari!
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta - Bagian terakhir
|
Umurnya menginjak 15 tahun saat Maria menangis di pinggir pantai hampir setiap malam Minggu. Saat teman-temannya yang lain berjalan-jalan di mal dan kafe, Maria memilih sendirian. Dia menangis dan menangis. Tapi, ada sang Ombak yang senantiasa memeluknya.
’’Kenapa kamu menangis?’’ tanya Ombak.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta- Bagian 1
|
’’Ombak… Ombak… Aku takut dewasa,’’ jawab Maria, tersungkur di atas pasir halus. ’’Semakin banyak aktivitas yang menghalangiku untuk menari. Bahkan, dalam satu bulan, belum tentu aku bisa menari. Padahal, dulu tiap kali ke sini, aku bisa menari tanpa beban. Kenapa sekarang tidak bisa?’’ lanjutnya.
’’Bukannya orang tuamu sangat mendukungmu menari?’’
’’Iya, tapi mereka menyuruhku fokus sekolah, fokus bergaul, dan mencari kesenangan lain. Meski tidak dilarang menjadi penari, aku tetap sedih, Ombak.’’ ’’Jangan bersedih. Menarilah sekarang sesuka hatimu. Aku akan menemanimu.’’
Tersenyum lemas, Maria mencoba menggerakkan tubuhnya mengikuti irama deburan ombak dan desiran angin. Burung-burung pun bernyanyi seolah-olah turut memberi semangat kepada gadis penari ini. Dalam hati, Maria meyakinkan diri bahwa dirinya bisa bahagia lagi.
Tak terasa umurnya sudah 20 tahun. Tiap malam Minggu, Maria malah duduk-duduk di pinggir pantai, melemparkan batu-batu kecil ke arah lautan penuh amarah. Merasa sedih dan tertekan, dia memanggil sahabatnya, ’’Ombak…’’
Sekarang Maria sudah menjadi penari. Tapi, kenapa dia malah bersedih?
’’Apa menurutmu aku penari yang baik?’’ tanyanya kepada Ombak.
’’Tentu, Maria! Tarianmu begitu indah, begitu anggun. Itu adalah bakat dari Tuhan yang kamu asah baik-baik.’’
’’Tapi, kenapa akhir-akhir ini aku jadi begitu lelah? Jadwal menari semakin padat. Aku tidak bisa beristirahat, Ombak. Aku bekerja di sekolah tari dan mereka akan memotong gajiku bila aku menolak salah satu pertunjukannya!’’ curhat Maria geram. ’’Ada yang salah, Ombak. Banyak yang salah.’’
Berkat bakatnya, penampilan Maria selalu mengundang tepuk tangan. Kerja kerasnya memang patut diacungi jempol. Kata orang, Maria tumbuh sebagai sosok yang rendah hati dan menyenangkan. Tapi, kenapa semua pujian itu tak lantas membuat Maria bahagia?
Gadis penari tersebut rindu panggung pribadinya: tepi pantai. Di mana dia dibiarkan menari sendiri, menikmati sepi. Dia bisa menari berjam-berjam tanpa diusik orang lain. Sungguh, waktu itu, Maria rela memberikan apa saja demi bisa menari.
Sampai akhirnya, sebuah kecelakaan merenggut kemampuan itu darinya.
Maria tak lagi bisa menari.
Umurnya 25 tahun saat dia tersenyum hangat di pinggir pantai tiap malam Minggu. Dia duduk di kursi roda, hanyut dalam melodi-melodi yang dimainkan angin, sirene kapal pesiar dari kejauhan, dan kerlap-kerlip kejora di kejauhan sana. Apakah Maria bahagia?
’’Ombak… Ombak…’’ kali ini dia memanggil dengan tenang. ’’Apakah kamu masih mau berteman denganku?’’
’’Tentu, Maria. Kenapa aku harus meninggalkanmu?’’
’’Aku tidak bisa menari lagi. Kedua kakiku lumpuh. Tidak mungkin ada yang mau menerimaku. Tidak mungkin ada yang bangga lagi denganku.’’
Sejak mobilnya menabrak pohon, orang-orang bersyukur Maria selamat. Tapi sebenarnya, hati sang gadis penari ini sangat terluka. Kakinya tidak bisa digerakkan lagi. Dia pun diberhentikan dari sekolah tari karena tidak bisa mengajar lagi. Maria hanya bisa pasrah.
’’Apa Tuhan tidak sayang aku? Kenapa Ia membiarkanku hidup tanpa bisa menari lagi? Aku kehilangan pekerjaan. Aku bahkan kehilangan teman. Dear, Ombak… Apa arti semua ini?’’ ratapnya. Tetes air mata mulai terlihat di sudut matanya.
’’Tuhan menyayangimu, sahabatku,’’ ucap Ombak, ’’Setiap hal yang Ia izinkan terjadi dalam kehidupan ini bertujuan membentuk kita.’’
’’MANA BUKTINYA?!’’ bentak Maria.
’’Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah menjadi penari. Dan lihatlah sekarang. Semua hancur!’’ tangisan Maria semakin kencang.
’’Bukan begitu. Karena kini kedua kakimu lumpuh, kamu memiliki cerita yang siap didengar banyak orang. Secara tidak sadar, kamu telah diajari untuk lebih menghargai waktu. Kalau melihat kembali, menari menjadi sesuatu yang jauh lebih indah bukan? Terkadang kita baru sadar bahwa sesuatu begitu berharga setelah kita kehilangannya.’’
Maria pun mengingat kembali saat-saat dia masih bisa menggerakkan kakinya dengan bebas. Dia bisa berlari, bermain, dan menari. Seharusnya, dia lebih menghargai masa-masa tersebut. Saat suka maupun duka. Sayangnya, waktu tak bisa diulang. Meski begitu, benar kata Ombak, dia punya banyak cerita dan nasihat untuk orang-orang. (*/c20/rat)