Zetizen-Sepertinya wanita asing itu nggak sekejam pikiranku. Melihatku gemetar ketakutan, dia tertegun dan malah membimbingku duduk agar aku tenang. ’’Dari mana asalmu?’’ tanyanya.
Sambil sesenggukan, aku menjawab, ’’Surabaya. Ibu kota Jawa Timur.’’
’’Ooooh… Tanah Jawa!’’ serunya. Dia pun menyuruhku menginap karena hari mulai gelap. Selain itu, perjalanan ke Tanah Jawa cukup jauh dan membutuhkan banyak persiapan. Yang paling mengejutkan, namanya juga Dyah! Putri Dyah Pitaloka dari Kerjaan Sunda yang dipimpin Prabu Maharaja Lingga Buana. Mendengar ceritanya, aku terkesima.
Baca juga:
Melampaui Bayang-Bayang
|
Dyah mengajakku berkeliling menyusuri istana megah tersebut. ’’Tempat apa ini?’’ tanyaku setibanya di suatu bangunan yang menarik. ’’Oh, ini per[1]pustakaan milik Paman Bunisora. Mau masuk?’’ tawarnya. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan. Aku suka baca loh!
Ternyata, Dyah juga suka membaca. Apalagi, pamannya punya banyak koleksi unik. Sayangnya, wanita dilarang belajar membaca karena tugasnya hanya di dapur dan berdandan cantik untuk para suami. ’’Karena rasa penasaranku tinggi, Paman Bunisora mengajariku membaca,’’ tutur Dyah.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta - Bagian terakhir
|
Keesokan harinya, seorang pelukis dari Tanah Jawa datang. Dia diminta melukis wajah sang putri dan aku pun diam-diam mengikutinya. ’’Lapo se dilukis barang. Difoto kan gampang,’’ gumamku.
Tiba-tiba si pelukis berkata, ’’Tuan Putri, lukisan ini akan kami bawa kepada Raja Majapahit, Yang Mulia Hayam Wuruk, karena beliau sedang mencari istri.’’ Mendengar hal itu, aku terkejut. Kok namanya mirip yang diceritakan Pak Andi? Menurut cerita yang aku ingat, kalau putri ini berangkat ke Majapahit, dia akan berakhir di tangan seorang patih. ’’Wah, aku kudu menyelamatkan dia!’’ seruku dalam hati.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta- Bagian 1
|
Setelah wajahnya dilukis, aku menemani Putri Dyah duduk-duduk di pinggir kolam.
’’Apakah kau akan menikah?’’ tanyaku.
’’Bergantung raja Majapahit menyukaiku atau tidak,’’ jawabnya.
Rasanya aku ingin sekali memberitahu dia tentang cerita yang aku dengar dari Pak Andi. Tapi, apa dia akan percaya semudah itu? Akhirnya, mulutku berkata, ’’Jangan, Putri. Perasaanku tidak enak.’’ Ah, bodohnya aku. Tentu Putri hanya tertawa dan menganggapku bercanda. Siapa aku kok berani melarang dia. Dan tahu apa aku yang masih anak sekolah ini.
’’Sudah kodrat wanita untuk dijodohkan dan laki-laki yang memilih,’’ tuturnya.
Ternyata, Raja Hayam Wuruk sangat menyukai lukisan Putri Dyah dan ingin menikahinya secepatnya. Kerajaan Sunda pun menyambut dengan sukacita karena akan menjalin aliansi dengan kerajaan terbesar di Nusantara. Patih Majapahit pun mengamanatkan pihak wanita yang mendatangi pihak laki-laki dan mereka akan dijemput di Bubat.
’’Dyah Kecil, kau ingin kembali ke Jawa kan? Bagaimana kalau kau ikut dengan kami? Bersembunyilah di kereta paling belakang agar ayah tidak tahu,’’ kata Putri Dyah.
Aku menerima tawaran tersebut. Tapi, hatiku tetap merasa tidak enak. Aku pun jadi curiga, apakah aku kembali ke masa lalu? Tapi bagaimana caranya? ’’Ah, mosok isok?’’ batinku. Tapi, dari semua yang aku saksikan, tempat ini dan kisah si putri mirip seperti sejarah yang aku baca. ’’LOH! IYO!’’ aku jadi ingat bahwa aku kali terakhir tertidur membaca buku sejarah. Apa mungkin ini mimpi? Kalau begitu, akan aku coba memejamkan mata. Siapa tahu besok bangun di meja belajar lagi…he he. (*/c20/rat)