zetizen

Horor #1dayescape (Bagian 4) - Intipan Pocong dari Balik Pohon Bambu

Food & Traveling

 

Ini bukan cerita rekayasa. Semua ini berdasarkan pengalaman nyata blind trip #1dayescape tim Zetizen Jakarta ke Surabaya-Malang pada akhir Maret 2017 lalu. Beberapa kejadian creepy memang betul-betul kami alami tanpa dibuat-buat. Sebelum lanjut baca cerita bagian ketiga ini, mending baca BAGIAN 1, BAGIAN 2, dan BAGIAN 3-nya dulu. Biar nyambung. Selamat membaca dan merinding asik.

 

CHAPTER 4: Intipan Pocong dari Balik Pohon Bambu

 

“Ayo woi bangun semua. Kita berangkat ke Bromo,” teriak salah seorang anggota #1dayescape di tengah malam. Beberapa saat menjelang jam 12 malam.

 

Saya yang baru tidur 15 menit seperti merasa bahagia, “Ya Allah akhirnya bisa cabut juga dari sini…”

 

Sejak menginjakkan kaki di homestay tersebut, perasaan tenang hanya sesekali menghampiri. Sisanya cuman merinding, merinding, dan merinding. Lukisan-lukisan itu, bau-bau aneh itu, suara-suara gesekan daun bambu itu… ah semuanya menjadi histori yang nggak mau saya simpan! Never. Ever.

 

Saya segera membuka mata selebar-lebarnya. Isi tas saya rapikan, kemudian peralatan mandi saya ambil.

 

Ya, saya yang sudah beberapa kali keringat dingin tak lagi peduli dengan dinginnya udara malam kota Malang pada hari itu. Saya mau membasuh badan sebelum ke Bromo! Anggap saja ini buang sial.

 

Tapi, ya ampun, ternyata toilet di cottage kami penuh. Akhirnya saya ke toilet milik cottage sebelah. Iya, yang berbau aneh itu seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Apa boleh buat.

 

Sendirian saya melangkah ke sana. Pintu pertama toilet yang berkelir hijau itu terbuka lebar tanda tak ada orang. Dengan ragu saya mendekat. Bau-bau aneh itu masih menghantui kepala saya. “Plis Tuhan, saya cuman mau bersih-bersih. Nggak ada niat lain. Lindungi saya plissss,” ucap saya dalam hati.

 

Dengan mengambil nafas panjang, saya melangkah masuk. Sangat hati-hati. Saya nggak mau menyentuh apapun di tempat itu selain keran air dan gagang pintu. Nggak lucu banget kalau saya sampai berbuat kebodohan di tempat ini.

 

Beberapa langkah kemudian, pintu kedua juga saya buka. Pintu berbahan acrylic bening berlapis sticker berbahan doff itu saya dorong sedikit hingga menyisakan sedikit ruang untuk badan saya masuk ke dalamnya.

 

Udara di dalam toilet cukup lembab. Namun beruntung bau-bau aneh itu nggak lagi tercium. Saya bisa sedikit bernapas lega.

 

Namun, karena pintu itu berbahan tembus pandang, saya urungkan niat saya untuk mandi. Saya hanya cuci muka dan sikat gigi. “Ndang mari ndang wes cukkkk (cepet kelar dahhhh),” kata saya.

 

Mata saya nggak bisa diam. Sambil cuci muka, mata saya melirik terus ke arah pintu. Ada dua penyebabnya: 1) takut ada yang mengintip, 2) takut ada yang “mengintip”.

 

Saat lagi membasuh muka, tiba-tiba….

 

*drrrrakkkkkkk *

 

Loteng di atas kepala saya berbunyi kencang! Bunyinya seperti lemparan segenggam kerikil kecil yang jatuh di atap seng.

 

“Mati gue…,” ucap saya lemas.

 

FYI, di sekeliling toilet nggak ada kerikil. Anggota tim yang lain semuanya juga masih di dalam cottage. Dan yang paling penting, nggak ada pohon beranting, berbuah atau berbiji di atas atap toilet yang berpotensi menghasilkan suara demikian ketika jatuh menyentuh atap seng. Nggak mungkin daun yang jatuh menghasilkan suara seperti itu.

 

“Sumpahh gue nggak niat ganggu…!” desis saya sambil menutup telinga di depan westafel dengan pasrahnya.

 

Saya mencoba menenangkan diri.

 

 

Suara di atas loteng nggak lagi terdengar. Sunyi. Tetesan air dari keran menjadi satu-satunya sumber bunyi di dalam toilet.

 

Dengan memberanikan diri, saya melanjutkan menyikat gigi. Namun kemudian…

 

*tok…tok…tok…*

 

Pintu kaca terketuk dengan keras!

 

Sh*t!!!” teriak saya kaget bercampur kesal.

 

“Nggak lucu woi!” umpat saya sambil mengalihkan pandangan ke arah pintu kaca. Emosi. Saya pikir ada teman yang mencoba mengerjai saya. Namun…

 

… nggak ada orang sama sekali yang terlihat…

 

Bahkan suara langkah ataupun goyangan daun pintu pun nggak ada. Baik pintu kayu hijau maupun kaca bening masih terkunci rapat.

 

Shock.

 

Tanpa pikir panjang, saya langsung keluar dari toilet itu dengan seribu pertanyaan menari-nari di atas kepala saya.

 

Dengan terdiam seribu bahasa, saya kembali ke cottage untuk mengambil barang. Entah sepucat apa muka saya saat itu. Rasa takut dan terkejut masih menempel erat. “Ayo deh pada cepetan. Keburu telat,” kata saya kepada semua anggota tim agar sesegara mungkin cabut dari tempat ini.

 

Saat yang lainnya turun ke parkiran, saya bersama salah seorang teman menuju receptionist di bagian belakang homestay untuk check-out.

 

Proses check-out sangat cepat. Namun, basa-basinya yang lama. Lima belas menit saya mengobrol dengan para crew di sana tanpa sekalipun saya membahas apa yang terjadi pada kami selama 5 jam berada di tempat ini. Begitu pamit, saya menyusul yang lainnya ke parkiran. Tepat jam 12 malam.

 

Melewati gerbang, saya ikuti jalan setapak menuju anak tangga yang mengarah langsung ke parkiran. Penerangan masih cukup baik untuk melihat pijakan kaki agar nggak terpeleset. Hembusan angin malam menemani langkah saya yang sedikit terbirit-birit.

 

Sesampainya di anak tangga terakhir, saya mendengar teriakan teman-teman dari arah parkiran.

 

“Stopppppp! Stopppp! Rem!” …. “Woiii stopppp!!!”

 

Di depan mata saya, mobil memang terus bergerak ke depan tanpa bisa dihentikan. Mobil kami menuju ke arah sungai besar tepat di tepi jurang. Ya, tepat-di-tepi-jurang.

 

Saya terperanjat kaget. Beberapa anak yang berkumpul di dekat mobil kedua juga terlihat kaget. Sayapun lari ke arah mereka yang berteriak.

 

“Ada apa?!” tanya saya dengan panik ke mereka.

 

“Mogok mas. Ini coba kita dorong. Lah malah meluncur terus nggak bisa di rem,” jawab salah seorang dari mereka tak kalah panik.

 

“Mogok? Kok bisa?”

 

“Nggak tau mas. Tiba-tiba nggak bisa dinyalain”

 

“Mobil yang satunya lagi juga?”

 

“Nggak. Mobil ini doang. Yang satunya lagi aman”

 

Ya Allah…apa lagi ini…

 

“Ayo dorong lagi ke parkiran!” “Siap ya, hitungan tiga!”

 

Semuanya membantu mendorong mobil dari arah depan menuju tempat semula.

 

“Satu…dua…tiga…dorong!!”

 

Namun ban mobil nggak mau bergerak seperti terkunci tiba-tiba.

 

“Buset!” “Coba lagi ya. Satu…dua…tiga…”

 

Ban akhirnya berputar. Mobil terdorong ke belakang hingga mencapai titik awal.

 

Dari titik awal, kami memutuskan mencoba lagi mendorong. Siapa tau bisa. Dengan sekuat tenaga, kami dorong lagi mobil itu.

 

Lalu kemudian…“Stoppppp!”

 

Semua berteriak yang sama. Namun, mobil masih bergerak ke depan. Di balik kemudi, berkali-kali tuas rem tangan ditarik. Tapi mobil masih meluncur ke arah jurang! Sekali lagi mobil terpaksa ditahan dari depan dengan kekuatan kami yang seadanya hingga berhenti.

 

Figur, teman saya yang saat itu memegang kendali mobil, lantas menengadah pasrah dibalik setirnya.

 

“Remnya nggak bisa bro (menghela nafas panjang)…”

 

“Serius lo?”

 

“Iya sal. Tadi juga gitu. Tiba-tiba aja nggak bisa di rem.”

 

Sayapun ikut menghela nafas panjang.

 

Kenapa kok jadi begini sih?

 

Karena mobil masih nggak bisa dinyalakan, akhirnya kami parkirkan lagi dia di tempat semula. Tiap bagian kami cek.

 

Anehnya, nggak satupun bagian mobil yang rusak. Mesin bagus, kelistrikan aman, bensin penuh, radiator dan lainnya juga nggak ada masalah. Kami semua hanya bisa menggaruk-garuk kepala.

 

Di titik berbeda, tepatnya dekat anak tangga, saya melihat salah satu di antara kami hanya berdiri terdiam. Raut mukanya tampak menyembunyikan sesuatu.

 

“Kenapa lu?” tanya saya kepadanya.

 

“Nggak papa. Ayo kakkk balik aja lah yukkk,”

 

“Lah? Kenapa? Mobil masih coba dibenerin dulu. Mau ngapain balik?”

 

“Nggak papaaaa… udah ayo balik aja…”

 

Rupanya, saat kami semua berjibaku mendorong mobil, dia lagi-lagi melihat sekelebat bayangan yang terus menerus bergerak memutar mengelilingi kami semua. Lengkap dengan suara daun bambu kering yang terinjak. Dan saat saya menghampiri dia, bayangan itu masih mengelilingi kami.

 

***

 

“Coba deh panggil penjaga homestay. Kali aja bisa bantuin benerin nih mobil,” ujar salah seorang dari kami.

 

Penjaga pun dipanggil ke bawah.

 

Begitu dia sampai di parkiran dan kami jelaskan masalahnya, dia bertanya, “Tadi waktu parkir udah ‘permisi’ belum?”

 

*hening*

 

“Yaudah coba kita liat ya mobilnya,” kata si penjaga mencoba memecah keheningan. Dia seperti tahu betul kami semua dilanda perasaan panik, takut, dan nggak nyangka atas pertanyaannya barusan.

 

Berapa kali usaha yang coba kami lakukan semuanya berakhir nihil. Mobil masih nggak bisa dinyalakan.

 

“Coba deh dorong lagi. Ke arah jalan raya. Mobil yang satunya lagi majuin aja dulu ke depan,” kata dia.

 

Aya, anggota kami yang kebetulan memegang kunci mobil kedua segera memindahkan mobil tersebut.

 

“Ke depan deket jalan situ kan mas?” tanyanya menunjuk arah jalan raya.

 

“Iya mba. Ke depan situ.”

 

Mobilpun dinyalakannya.

 

Perlahan, mobil bergerak meninggalkan lokasi parkir.

 

Satu meter…dua meter…tiga meter…sepuluh meter…

 

Belum sempat sampai ke tengah, dia menengok ke arah kanan. Lalu…nafas tetiba tercekat, mulut membisu, badan kaku.

 

Pocong!!!

 

Sejumlah pocong terlihat jelas di depan matanya. Mereka menampakkan diri dari balik batang-batang bambu. Sorot mata mereka mengawasinya!

 

“Arrgggg!” teriaknya berlari.

 

Tanpa mematikan lampu dan mesin mobil, dia berlari ke arah kami meninggalkan mobil. Tak peduli pintu mobil bahkan belum ditutup.

 

“Sumpah…gue bodo amat itu mobil mau di bawa orang kek apa gimana… gue nggak peduli!!!” ungkapnya ke kami berbisik tanpa menjelaskan apa yang terjadi.

 

“Sumpah ya gue nggak peduli!” katanya lagi histeris, tapi tetap masih dengn berbisik.

 

Di tengah-tengah kepanikan itu, tiba-tiba saya mendengar kembali suara tepuk tangan dari balik hutan bambu di belakang parkiran. Berulang-ulang. Dengan suara yang kencang.

 

*prok..prok..prok*

 

Astagfirulloh….

 

“Siapa yang tepuk tangan?!” tanya saya serius. Namun, seperti kejadian jam 7 malam tadi, nggak ada satupun yang mendengarnya. Sh*t happens.

 

Kami nggak tau harus berbuat apa.

 

“Mas, sampean mending berangkat nanti pagi aja. Jam segini nggak ada bengkel yang buka,” saran si penjaga homestay. “Kalau mau istirahat, monggo balik lagi aja ke kamar. Aku ke atas dulu ya,” katanya lagi.

 

Kami nggak menolak, tapi juga nggak mengiyakan sarannya. Kami semua hanya mau cepat-cepat cabut dari tempat ini.

 

Namun bisa apa kami…

 

Pasrah dengan apa yang terjadi, kami berkumpul untuk mendiskusikan keputusan malam ini. Lemas. Nggak ada yang punya ide atas apa yang terjadi dengan kami (check the video below, that was what really happened to us when we really don't know what the hell is going on).

 

 

Saat lagi diskusi, Mawa, anggota kami yang sedari tadi melihat sosok bayangan yang mengitari kami, kembali merengek meminta kembali ke atas.

 

“Ayooo kak balik aja ke atas,” katanya.

 

Huh….

 

Keputusan akhirnya dibuat. Kami akan menginap hingga pagi nanti. Rencana ke Bromo kami pending sejenak.

 

“Ayo naik. Istirahat aja dulu,” ajak saya kepada teman-teman.

 

Barang-barang kami ambil kembali. Mobil kami tempatkan lagi diparkiran. Dan setelah itu kami pun naik kembali ke homestay.

 

Saat melangkah menuju tangga homestay, suara tepuk tangan itu kembali terdengar memekakkan telinga!

 

*prok…prok…prok*

 

Damn!

 

Suara itupun menjadi pengantar malam panjang kami di homestay. Ya, karena di dalam homestay pun kami masih mengalami kejadian-kejadian ini hingga subuh menjelang. Persis hingga suara Azan Subuh berkumandang.

 

(bersambung….)

 

Kisah sebelumnya:

Horor #1dayescape (Bagian 1) - Niat 'Happy' Berujung 'Creepy'

Horor #1dayescape (Bagian 2) - Suara Itu dari Hutan Bambu

Horor #1dayescape (Bagian 3) - Matanya Terus Bergerak Mengikuti

 

 

 

Escape story by: Faisal Ash (@ashfaisal)

Destination: Malang, Jawa Timur