Zetizen.com - Let's move to Kalimantan Timur! Ada lima Alpha Zetizen yang nggak kalah kece. Aksi positif mereka sangat beragam. Mulai dari mengajar sampai membuat event untuk teman-teman berkebutuhan khusus. Inspiring banget deh. Yuk, kenalan dulu dengan Alpha Zetizen 2017 dari Kalimantan Timur berikut ini!
*****
Azka Hifzhan Nanda, SMA Yayasan Pupuk Kaltim Bontang
Beraksi karena Peduli Kesehatan Anak
Sejak SMP, Azka bergabung Hamas (Himpunan Anak Masjid) di kompleks rumahnya. Lokasi masjid yang dekat tempat penitipan anak bikin anggota Haman sering mampir untuk beribadah bersama dan memberi materi sembari menunggu para orangtuanya menjemput. Hal itu menumbuhkan rasa kedekatan Azka dengan anak kecil. “Padahal, dulu aku nggak suka anak-anak. Bahkan merasa jengkel kalau mereka nangis,” katanya.
Rasa cinta itulah yang bikin Azka memutuskan ikut program Pengajar Jelajah Nusa bersama Indonesia Mengajar pada Juli 2017. Saat itu, dia dikirim ke Desa Batui 5, Banggai, Sulawesi Tengah. Awalnya, dia melakukan kegiatan seperti baca, tulis, hitung, dan bermain bersama anak-anak di sana. Hingga kemudian hatinya tergerak untuk melakukan perubahan lewat penyuluhan.
“Sedih banget ketika melihat kuku mereka yang panjang. Lalu, senang main pasir tanpa cuci tangan dan jarang sikat gigi hingga giginya berlubang. Yang makin syok, kelas di sana penuh dengan pasir dan lumpur jika hujan,” ujar cowok kelahiran 21 November 2000 tersebut.
Oleh karena itu, Azka mengajarkan cara menyikat gigi, buang air kecil dan besar yang benar, serta cara mencuci tangan yang efektif. Penyuluhan dibarengi dengan games. Azka juga mengajak anak-anak berenang dan sikat gigi bersama di sungai atau kuala yang sangat jernih di desa itu. Dalam melakukan aksinya, dia berhasil meng-influence dua temannya untuk membantu.
Berkat kegigihannya, Azka berhasil menjadi finalis lima besar Zetizen National Challenge Go to New Zealand dari Kalimantan Timur. Dia berharap, aksinya bisa membuat anak-anak konsisten menjaga kesehatan dan kebersihan. “Juga agar teman-teman di kota turut bersinergi membantu anak-anak di desa. Sembari menikmati indahnya pelosok negeri, kita dapat membantu kehidupan di sana agar lebih baik lagi,” tutup Azka bijak.
Che Che Mile Fironike, SMA 4 Berau
Jadi Roda Penggerak Kepedulian Anak-Anak Berau
Bagi seorang Che Che, masa muda seharusnya digunakan untuk memperbanyak aksi positif yang bermanfaat untuk daerah. Sejak berusia sembilan tahun, dia sudah aktif berorganisasi. Bahkan, dia juga aktif di komunitas tari hip-hop sebagai pelatih dan berhasil menelurkan banyak prestasi dari teman-teman yang dibinanya. Dia juga peduli dengan lingkungan dan aktif bersosialisasi. Itulah yang bikin Che Che disukai banyak orang.
Melihat keaktifannya, cewek kelahiran 30 Januari 2000 ini dilirik Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menjadi ketua Forum Anak Berau pada 2016 lalu. ”Di sana, aku bercerita tentang berbagai macam masalah yang dihadapi anak-anak Berau. Mulai dari mengisap lem, balapan liar, dan putus sekolah,” kata siswi kelas 12 ini.
Semenjak menjabat sebagai ketua, Che Che bertekad memperjuangkan hak-hak anak Berau dan merangkul yang salah jalan ke arah yang benar. Di tangannya, Forum Anak mulai aktif dan dikenal banyak orang. “Forum itu sudah ada sejak 2008. Tapi, mulai diketahui masyarakat sejak 2016,” ungkapnya. Bahkan, Che Che berhasil menyebarluaskan Forum Anak ke-8 dari total 13 kecamatan di Berau. Perjuangan ini nggak main-main lho.
“Jarak antara kecamatan itu sangat jauh. Terutama daerah pesisir. Kalau berangkat pukul 06.00 dari Tanjung Redeb, sampai di sana sekitar pukul 10.00. Belum lagi di sana sangat minim jaringan,” beber siswi SMA 4 Berau ini.
Namun, perjuangan Che Che membuahkan hasil. Banyak perubahan yang terlihat sejak anak-anak Berau mulai aktif mengikuti Forum Anak. Mindset mereka yang menganggap organisasi sangat membosankan dan buang-buang waktu perlahan berubah. “Bahkan, yang awalnya minder, sekarang lebih aktif di kegiatan sosial dan percaya diri menyampaikan pendapat di muka publik. Beberapa kecamatan juga sudah punya program-program positif,” jelasnya. Keren banget kan!
Wahyu Ramadhana, Institut Teknologi Kalimantan
Beri Peran lewat Caring and Sharing
Lakukan apa saja tanpa berharap ke orang lain. Selama masih bisa dan sanggup, nnggak perlu menunggu untuk melakukan kebaikan. Itulah moto hidup Wahyu Ramadhana. Cowok kelahiran 3 Januari 2000 ini sadar bahwa generasi muda harus punya peran dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Salah satu dari sekian aksi nyata yang Wahyu lakukan adalah menggarap event Walk for Autism.
Wahyu mengajak teman-temannya terlibat agar bisa mengubah mindset mereka terhadap teman-teman berkebutuhan khusus. Supaya teman-teman berkebutuhan khusus itu tahu kalau masih banyak yang peduli dan nggak perlu minder. Jalan sehat, pembinaan dengan memberi materi menumbuhkan rasa percaya diri adalah salah satu cara Wahyu membuat mereka makin confident untuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Awalnya Wahyu melakukan aksi ini adalah karena prihatin terhadap orang-orang yang sering nge-judge anak-anak keterbelakangan mental atau autis. “Kita nggak bakal tahu kalau mereka bisa jadi penemu obat kanker di masa depan. Kita juga nggak pernah tahu kalau salah satu dari mereka bakal menjadi seorang penentu hal yang berdampak bagi dunia. Menurutku, kemungkinan itu nggak mustahil,” terangnya optimistis.
Oh iya, cowok jurusan Teknik Elektro di Institut Teknologi Kalimantan ini juga merupakan fasilitator di Green Generation Samarinda lho. Selain menampung curhatan anggota GG, dia juga mengawasi organisasi yang concern di lingkungan ini supaya tetap eksis. Hebatnya lagi, Wahyu membuat organisasi Generation Anti-Corruption bersama Savira, sahabatnya yang merupakan Duta Pendidikan Anti Korupsi. Dalam waktu dekat, dia akan melakukan penyuluhan tentang remaja dan lingkungan ke sekolah-sekolah yang ada di Samarinda.
Diah Anggraini, SMA 1 Balikpapan
Yakin terhadap Potensi Junior
Zetizen kelahiran 6 Juli 2000 ini sudah memulai aksinya di bidang lingkungan sejak SMP. Saat itu, Diah bersama teman-temannya merintis Green Generation SMP 5 Balikpapan. "Perjalanannya nggak mudah karena nggak banyak dukungan," ujar cewek berhijab ini. Namun, dia nggak kenal takut. Berbagai kegiatan pun terus diikutinya. Bahkan, aksinya di bidang lingkungan sudah nggak terhitung jumlahnya.
Seiring berjalannya waktu, Diah dipilih sebagai ketua Green Generation Balikpapan periode 2016/2018. "Selama masa kepemimpinanku, aku sudah mengubah mindset kurang lebih 20 ribu anak untuk lebih mencintai lingkungan," jelasnya. Pekerjaan itu tentu bukanlah hal mudah. Sebab, kebiasaan masing-masing pribadi telah terbentuk sejak masih dini.
Ketika masih SD, Diah mengaku tumbuh besar di lingkungan yang buruk. Penggunaan barang terlarang banyak dilakukan. "Aku nggak sampai menggunakan barang terlarang. Namun, pernah menjadi bagian mereka," tutur pencinta travelling ini. Dari sanalah, Diah merintis Green Generation Junior dan gerakan BERSERANGAN (Bersih Sehat Ramah Lingkungan). "Puncaknya, kami mengadakan camp di TPA Manggar," jelas Diah.
Saat ini, GG Junior telah berdiri di 50 SD dan 47 SMP/SMA di Kota Minyak. "Aku yakin, dari anak-anak junior ini bakal hadir ide-ide cemerlang yang nggak pernah kita pikirkan sebelumnya," tutur Diah. Dia berharap GG Junior dapat menjadi wadah tepat bagi anak-anak SD binaannya.
Hady Maulana, Institut Teknologi Kalimantan
Bergerak demi Perubahan di Desa
Setiap manusia memiliki belas kasih dan rasa empati. Prinsip itu tertanam kuat di benak Hady. Dia ingin menjadi sosok bermanfaat bagi masyarakat. Hal itu pula yang mengawali perjalanannya memulai proyek ABATASA. “Allah SWT akan membantu hambanya selama dia membantu kepada saudaranya. Sebuah hadist dari Bukhori dan Muslim yang berhasil menggerakkan hatiku sebelum menggarap proyek ini,” terang Hady.
Awalnya, Hady mendapat tugas dari pondok untuk terjun ke masyarakat. Saat itu, dia masih kelas XII dan ditugaskan ke desa Muara Adang II, Long Kali, Paser. Ketika menjadi imam tarawih di sana, Hady mengalami sendiri bagaimana sulitnya mendapat air bersih di desa tersebut. Ketika itu, desa Muara Adang termasuk wilayah yang mengalami krisis air bersih. Masyarakat hanya bisa mengandalkan air hujan.
“Jumlah air emang melimpah. Namun berupa air asam yang bisa berefek samping kalau dipakai sehari-hari. Mulai dari gatal-gatal hingga pakaian menguning. Aku pun berpikir bagaimana cara menyelesaikanmaslaah tersebut dengan memanfaatkan sumber yang telah ada,” kenangnya.
Hady pun menggagas proyek ABATASA. Pertama, dia mengedukasi masyarakat tentang proses mengolah air asam menjadi air baku yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu mendirikan komunitas ABATASA dan mengajak warga yang tanggap dan peduli terhadap masalah krisis air di desa Muara Adang II. Kemudian, Hady membuat sebuah teknologi filtrasi air asam menjadi air bersih.
Terpilih menjadi Top 5 Alpha Zetizen Region Kalimantan Timut menjadi berkah tersendiri bagi Hady. “Alhamdulillah. Saya orang desa, tapi perubahan yang kulakukan demi desa bisa diapresiasi oleh Zetizen. Harapannya, program ABATASA terus berlanjut dan dikenal luas sebagai solusi untuk menangani krisis air di daerah,” terangnya semangat.
| Ditulis oleh: Tim Zetizen Kalimantan Timur