Zetizen.com - Selamat datang di kehidupannya generasi yang punya seribu satu kemudahan. Selamat berkawan dengan generasi yang hidupnya serba “ribet nggak ribet”, Generasi Z. Kali ini, saya akan coba mengulik hal-hal yang terjadi di kehidupan generasi Z. Bukan tentang review aplikasi social media atau cafe yang fancy, tapi tentang hal-hal sederhana yang bisa membantu kamu memahami dunia ini as a youth. Sadis kan? Ha..ha..ha. Ya, semoga saja memang bisa benar-benar membantu (dan menghibur).
Di edisi perdana, saya mau menyentil masalah consciousness alias kesadaran yang penting banget bagi generasi Z. Sebagai generasi Z yang lahir dan hidup dengan akses dan pilihan yang nggak terbatas, kita sudah terbiasa untuk mendapatkan dan membagikan informasi apapun dengan mudah. Semuanya seakan sudah tersedia secara instan dan cepat.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, berbagai kecanggihan teknologi informasi yang ada kok rasanya malah mengurung kita pada sebuah “dunia” yang kita ciptakan sendiri ya? Iya nggak sih? Banyak di antara generasi kita ini, generasi Z, yang sulit membedakan dunia mana yang sebenarnya sedang ditinggali. Dunia nyata kah? Atau dunia maya?
Gini deh, kita buat lebih sederhana.
Bayangkan kamu sedang berada di rumah. Kamu duduk santai dengan earphone di telinga dan mata menatap layar handphone. Di saat yang bersamaan itu kamu berkonsentrasi pada hal-hal yang kamu lihat dan dengar. Kamu melihat lantai, dinding, bentuk handphone-mu, dan juga aplikasi Instagram yang sedang kamu buka. Kalau hal itu sering kamu lakukan, artinya kamu punya level dari consciousness yang cukup baik. Bagi yang belum pernah denger, consciousness adalah kondisi ketika kamu nggak cuman mengetahui suatu hal saja dalam waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, kamu juga sadar tentang hal lain. Kamu mampu menempatkan diri pada konteks tertentu.
Berikutnya, sambil bersiul, kamu juga membaca hashtag yang dicantumkan temanmu dalam caption-nya. Berikutnya? Ya, like dan comment. Bukan cuman satu, tapi sampai belasan, bahkan puluhan. Tapi, cukup nggak sih conscious sampai situ doang? Terlahir sebagai generasi Z, rugi rasanya kalau kita hanya mencapai consciousness pada level yang segitu-gitu aja.
Emangnya, level consciousness yang lebih baik kayak gimana? Sederhananya, dari contoh barusan. Dalam kondisi consciousness yang cukup intens, kamu nggak hanya larut dalam berbagai emosi yang ada di timeline Instagram. Tapi, juga sadar arti dan tujuan post-nya. Yang senang maupun galau. Dari “berisiknya” kampanye Pilkada Jakarta sampai “fantastisnya” kebijakan Donald Trump, presiden Amerika Serikat yang baru.
Tapi, di saat itu juga kamu sepenuhnya sadar kalau kamu sedang berada di rumah, lagi mager alias males gerak, sambil menyanyikan lagu Chainsmoker dengan suara kamu yang pas-pasan. Gitu kira-kira. Nggak ribet kan ya? Hehe...
Nah, selain peduli tentang hal-hal yang terjadi di luar, kita juga perlu untuk conscious terhadap cara kita merepresentasikan diri. Iya, semacam pencitraan gitu. Generasi Z cenderung peduli dengan pencitraan. Kita peduli bagaimana orang lain menilai kita. Ada yang mau menyangkal?
Gini deh, seberapa berusahanya sih kamu berusaha menciptakan karakter diri sendiri lewat bio dan feed Instagram, Snapchat, Facebook, maupun media lainnya? Kalaupun nggak intens, tapi at least kamu pernah melakukannya kan? Karena udah rahasia umum kalau hampir semua generasi Z itu pengin dikenal sebagai pribadi yang unik dan berbeda. Beruntung berbagai platform telah menyediakan ruang bagi kita untuk mendapatkan kepuasan visual, sosial, dan emosional itu.
Kenapa ini penting? Karena sebagai generasi Z yang conscious, kita paham bahwa media sosial itu bisa menampilkan hal-hal yang bagus (semoga juga positif) kepada followers, kepada orang banyak.
So, untuk menjadi conscious, dengan hanya bermodal tahu mana yang baik dan buruk masih belum cukup. Hal itu cuman akan membuat kamu menjadi orang yang knowledgeable. Tapi, jika kamu mau sedikit merefleksikannya ke dalam diri kamu, percayalah kamu adalah generasi Z yang benar-benar conscious!
Salam,
Anggun Citra Berlian
Alpha Zetizen DKI Jakarta
Editor: Faisal Ash