Are You a Zetizen?
Show Menu

Literasi Rendah Cerminkan Karakter Warga, Jadikan Membaca Itu Keren

Zetizen Zetizen 22 May 2016
Literasi Rendah Cerminkan Karakter Warga, Jadikan Membaca Itu Keren

foto: Dite Surendra Jawa Pos

Zetizen.com - Indonesia memiliki banyak sastrawan. Demikian juga penggiat literasi dan komunitas baca. Namun, berdasar data tingkat literasi negara di dunia yang dirilis Central Connecticut State University Maret lalu, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Kok bisa ya?

---

Novelis Okky Madasari menyatakan bahwa rendahnya kebiasaan menulis dan membaca di Indonesia terkait dengan minimnya akses dan fasilitas untuk mendapatkan bacaan berkualitas. Kurikulum tidak memasukkan kewajiban membaca karya sastra pada tiap jenjang pendidikan. ’’Belum ada upaya strategis dari pemerintah untuk menyediakan akses seluas-luasnya mendapatkan buku-buku berkualitas,’’ ujarnya.

Perempuan kelahiran Magetan, 30 Oktober 1984, itu mencontohkan, di kota asalnya tidak ada satu pun toko buku, bahkan sampai saat ini. Perpustakaan daerah pun sekadar bangunan, tanpa isi bacaan yang layak.

Okky menambahkan, untuk meningkatkan literacy rate, ekosistem literasi harus dibenahi. Pemerintah seharusnya menyediakan bacaan-bacaan berkualitas yang mampu memberikan asupan nutrisi otak. Bukan sekadar bacaan pengantar tidur. ’’Kita berada di era yang memudahkan pertukaran informasi. Tidak lagi bergantung pada penerbit besar. Bisa menerbitkan buku lewat jalur indie. Tapi, tetap jangan melupakan kualitas,’’ pesan Okky.

Moderator Goodreads Indonesia Harun Harahap, 30, sepakat dengan Okky. Penelitian yang menyudutkan tentang minimnya literasi Indonesia tidak menjadikannya pesimistis. ’’Menurut saya, bukan karena orang Indonesia yang tidak suka kegiatan literasi. Namun, akses kita kurang,’’ ujarnya.

Di kota besar yang fasilitasnya lengkap, perkembangan dunia literasi bagus. Komunitas literasi tumbuh lebih spesifik dan kegiatannya banyak. Laki-laki yang berprofesi sebagai auditor pajak tersebut mencontohkan kegiatan Festival Pembaca Indonesia yang diadakan Goodreads Indonesia regional Jakarta sejak 2010. ’’Setiap tahun, pengunjungnya banyak. Bahkan cenderung meningkat,’’ ucapnya.

Pada perayaan Hari Buku Nasional yang diperingati setiap 17 Mei, banyak komunitas literasi yang memamerkan gaungnya. Salah satunya Klub Literasi Anak (KLA) Surabaya yang dimotori Nindia Nurmayasari, 30. Alumnus Psikologi Universitas Airlangga yang juga founder KLA itu mengadakan workshop menulis kreatif khusus anak dan peluncuran novel yang ditulis anak didik mereka, yaitu Lynette Gadis Berteman Hujan dan Petualangan di Hutan Scarbook, pada Sabtu (14/5). ’’Sebenarnya ini kelas reguler yang diadakan sebulan sekali, tapi momentumnya dapat karena Hari Buku,’’ kata Maya, sapaannya.

Menurut Maya, anak-anak adalah peniru ulung. Jika ingin anak gemar membaca, berikanlah teladan. Orang tua harus memberi contoh gemar membaca. ’’Beri contoh nyata bahwa membaca itu keren. Contohnya, jadi tahu banyak hal saat berinteraksi dengan orang banyak,’’ ujarnya. Kurangi menonton televisi. Seringlah membaca di depan anak-anak. Sediakan buku bacaan yang baik. Tidak harus beli karena bisa dengan berkunjung ke perpustakaan.

Kalau KLA untuk anak-anak, ada pula komunitas Malam Puisi bagi mereka yang dewasa. Di komunitas itu, mereka yang datang bisa mendengar, menikmati, dan membacakan puisi. Malam Puisi yang digagas Bumi Hadyarti berawal dari suatu malam di Bali saat nongkrong bersama teman pada Maret 2013. Bosan nongkrong hanya diisi dengan ngopi dan ngobrol, tercetuslah ide spontan mereka berlima untuk membaca puisi. Tak lama setelah itu, mereka membuat pertemuan pada Sabtu, 23 Maret 2013, yang menandai lahirnya Malam Puisi.

Dalam waktu kurang dari sebulan, aktivitas itu menyebar melalui media sosial hingga kegiatan serupa bermunculan di berbagai kota. Mulai Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta, Bekasi, Depok, hingga Batam, Medan, Aceh, Palu, Ende, dan banyak lainnya dengan total 40 kota.

Sementara itu, dikutip dari The Guardian, John Miller, pimpinan Central Connecticut State University, New Britain, Connecticut, AS, menyebutkan bahwa daftar literasi itu dibuat berdasar kebiasaan warga negara itu dalam membaca dan menulis serta dukungan sumber daya. Kebiasaan literasi tersebut akan mencerminkan karakter penduduk sebuah negara. Beberapa orang atau kelompok berusaha keras meningkatkan angka literasi, sedangkan sebagian lainnya menerima begitu saja tanpa usaha. ’’Masyarakat yang tidak mempraktikkan perilaku literasi biasanya mereka masuk kategori ekonomi lemah, kekurangan gizi, baik dalam pikiran maupun tubuh, tidak menghargai HAM, brutal, dan kasar,’’ jelas Miller. Nah, kalau kita tidak mau masuk kategori itu, yuk bersama-sama kita giatkan aktivitas literasi. (ina/nor/c19/ayi jawa pos)

RELATED ARTICLES

Please read the following article