Zetizen.com – Meski statusnya masih negara berkembang, Indonesia itu sebenarnya punya banyak orang jenius yang udah sukses mengharumkan nama negeri ini lewat berbagai bidang. Sebut aja demian yang baru-baru ini sukses memperkenalkan sulap Indonesia di ajang America’s Got Talent.
Atau B.J. Habibie yang sampai ditawari kewarganegaraan Jerman berkat keahliannya di dunia penerbangan. Ada juga Rio Haryanto yang mengenalkan nama Indonesia ke mata dunia di ajang Formula 1 dan bikin bule-bule, nggak cuma tahu pulau Bali doang, plus berderet-deret nama berprestasi lainnya.
Sayangnya, sebagian besar orang-orang berprestasi itu justru dapat respon yang buruk, bahkan cacian dari banyak orang Indonesia sendiri. Contoh, demian yang meski sukses memukau seluruh juri AGT malah dicaci maki oleh netizen. Atau komentar nggak membangun banyak netizen waktu Joey Alexander berhasil meraih juara dua di Grammy Awards.
See? Ditengah prestasi yang berhamburan itu, ternyata banyak orang Indonesia yang justru anti-apresiasi. Wah, kamu pasti nggak mau kan kalau lama-lama, orang-orang hebat Indonesia memilih buat berkarya diluar karena lebih merasa dihargai?
Makanya, yuk sama-sama kenali Kebiasaan apa aja sih yang bikin kamu atau orang disekitarmu mungkin masih nggak paham pentingnya apresiasi buat suatu prestasi!
Kalau ada teman yang punya ide besar, jangan diremehkan! (Twitter)
Hayoo, kalimat di atas pasti udah nggak asing dong buat kita? Iya, dalam mengerjakan sesuatu, banyak orang yang lebih suka cari jalan pintas yang gampang. Alhasil, waktu ada teman yang punya inisiatif buat bikin tugas secara lebih ‘niat’ dan rumit, biasanya bakal langsung diserang dengan kalimat sakti ‘Ngapain sih sok bikin susah-susah, yang penting selesai aja kali’.
Well, kebiasaan meremehkan effort dan ide besar orang lain ini lah yang bikin kita jadi minim apresiasi. Bukannya mendukung ide dan inovasi besar yang diciptakan teman, kita malah menganggap mereka terlalu muluk dan nggak realistis. Kalau udah gini, kejadian kayak B.J. Habibie atau Dahlan Iskan lah yang bakal terjadi. Ide mereka tentang dunia dirgantara dan mobil listrik dianggap lelucon di negeri ini, tapi malah diakui dan diapresiasi di negara lain. Nggak kaget deh kalau banyak ilmuwan akhirnya memilih ‘melarikan diri’ aja dari tanah airnya sendiri. Sedih, ya?
Terlalu rendah ekspektasi bisa bikin kita jadi skeptis (Photobucket)
Satu lagi kalimat ‘sakti’ yang kayaknya udah akrab banget kita dengar sejak kecil. Entah itu di keluarga, atau lingkungan pertemanan, kalimat ini emang sering diucapkan. Contoh simple-nya nih, bisa dilihat waktu ada teman yang jatuh cinta. Bukannya mendukung dan menyemangati dia buat mengejar pujaan hatinya, kita malah sering menyuruh mereka buat nggak berharap tinggi-tinggi. Benar, nggak?
Meski melindungi diri dari kekecewaan itu emang perlu, tapi kalau dilakukan secara berlebihan kita jadi gampang skeptis dan suka meragukan kemampuan diri sendiri dan orang lain. Bawaannya negative thinking dan pesimis melulu. Bukannya senang lihat pemerintah pro aktif membantu Rio Haryanto mencari dana buat berlaga di F1, banyak orang malah udah keburu skeptis duluan. ‘Ngapain dana besar dibuat membantu Rio yang belum tentu prestasinya di F1, mending dibuat masyarakat miskin’. Hmm, skeptis bisa bikin kita jadi sulit mengapresiasi kan?
Satu kebaikan bisa kalah sama segudang keburukan (Trackrunner)
Namanya bergosip, emang terasa lebih seru kalau membicarakan kelemahan-kelemahan orang. Inilah kenapa, teman yang berbuat kesalahan, bakal lebih awet jadi bahan pembicaraan ketimbang teman yang sukses mendapat prestasi hebat. Rasanya, sehebat apapun prestasimu, orang bakal lebih suka membicarakan kesalahan yang pernah kamu buat. Sedih kan? Tapi ya itu kenyataannya.
Kebiasaan hobi membicarakan kelemahan orang, juga jadi alasan kenapa orang Indonesia sulit mengapresiasi orang lain. Para atlet olahraga kayaknya jadi yang paling sering merasakan akibat kebiasaan ini. Meski udah punya prestasi segudang, para atlet pasti langsung aja dihujat habis-habisan kalau mereka kalah di pertandingan. Mau itu sepak bola, badminton, atau olahraga apapun juga sama aja. Kalau menang dipuji-puji, kalau kalah diejek ampun-ampunan. Nggak heran deh kalau banyak atlet jadi down dan malah sulit untuk berkembang.
Daripada berkomentar, yuk ikutan beri prestasi buat Indonesia (Chirpstory)
Di Indonesia, kita udah terbiasa disuguhi sama budaya gemar berkomentar. Politisi A mengomentari politisi B di TV, artis A mengomentari artis B di koran, sampai sosial media pun rasanya dijadikan senjata andalan buat saling ‘pedas-pedasan’ mengeluarkan komentar. Rasanya, kejadian apapun belum ‘afdhol’ kalau belum dikomentari. Kita pun jadi tanpa sadar suka ikut dalam hobi berkomentar ini.
Saking semangatnya berkomentar, hal positif sekalipun juga gatal pengen dikomentari. Demian yang udah jelas-jelas sukses memukau penonton dan juri America’s Got Talent, masih nggak lepas jadi sasaran ‘hobi’ berkomentar masyarakat. Mirisnya, komentar-komentar ini kebanyakan pedas dan justru datang dari orang Indonesia sendiri. Hmm, kalau budaya berkomentar ini nggak diubah ke arah positif, kayaknya sikap mengapresiasi masih bakal sulit dicapai deh. Ya nggak?
Kalau menang sombong, kalau kalah nggak terima. (shirtaday)
Kebiasaan jelek orang Indonesia adalah malu mengakui kesalahan, atau malah nggak mau kalah. Saat berkendara misalnya, banyak orang yang melanggar aturan lalu lintas tapi justru paling galak waktu ditegur. Atau kata-kata sakti "Ah semua orang juga begitu" saat kamu sebenarnya sadar melakukan kesalahan, tapi nggak mau mengakui.
Sadar nggak sih, Guys, kebiasaan kayak gini jadi sangat buruk kalau dibawa ke sebuah persaingan. Saat pesaingmu menang, atau lebih unggul, kamu yang kalah bukannya menerima dengan lapang dada dan berlatih lebih keras, tapi justru sibuk menghujat dia yang sukses. "Ah paling juga curang","Wah, jurinya nggak beres nih, jangan-jangan ada main belakang lagi," Dan segudang cibiran lainnya.
Kebiasaan kayak gini, akhirnya bikin kita nggak bisa menghargai orang lain. Karena kita selalu merasa paling benar dan paling hebat. Padahal, guys, kamu kan nggak tahu perjuangan dia sesusah apa buat jadi sebaik itu.
Nah, karena udah sama-sama tahu, yuk berusaha mengurangi kebiasaan-kebiasaan jelek itu mulai sekarang.
Editor: Bogiva