Ini bukan cerita rekayasa. Semua ini berdasarkan pengalaman nyata blind trip #1dayescape tim Zetizen Jakarta ke Surabaya-Malang pada akhir Maret 2017 lalu. Beberapa kejadian creepy memang betul-betul kami alami tanpa dibuat-buat. Sebelum lanjut baca cerita bagian ketiga ini, mending baca BAGIAN 1 dan BAGIAN 2-nya dulu. Biar nyambung. Selamat membaca dan merinding asik.
Setelah segala keanehan yang terjadi ketika kami akan bermalam di homestay itu, wajar rasanya semua anggota blind trip jadi super was-was. Nggak peduli walau pada akhirnya pun kami semua bisa duduk manis di cottage yang kami sewa. Meski nggak lama.
Seakan memecah semua kepanikan yang sudah terjadi, kami mencoba bercanda gurau sambil membereskan barang bawaan.
Beberapa anak lantas bertanya ke saya, dengan masih menahan dan melawan ketakutan yang tersisa,
Saya yang ditanya agak sulit untuk menjawab. Saya masih dalam keadaan percaya nggak percaya. Gimana nggak, apa yang saya liat di monitor laptop waktu pemesanan homestay ini kok kenyataannya sungguh berbeda. Jauh berbeda.
Homestay ini sebenarnya asik…kalau saja nggak ada kejadian-kejadian ini (yang sudah saya ceritakan di part sebelumnya).
Jadi, dengan penuh gundah gulana, saya jelaskan ke mereka bahwa homestay itu saya dapat dari sebuah aplikasi online terkenal untuk urusan sewa menyewa homestay pribadi. Dan entah kenapa tempat ini begitu terlihat menggiurkan. Harganya murah, tapi looks-nya asik.
Sebelumnya, kami memang sudah bersepakat untuk blind trip #1dayescape ini: 1) cari spot escape sebanyak mungkin, 2) keluarkan budget seminim mungkin. Makanya kami sengaja memilih homestay yang sederhana saja. Tapi, ya harus tetap asik. Maklum, kan niatnya jalan-jalan.
Nah, di dalam aplikasi tersebut jelas tercantum kalau homestay ini dibuat seakan-akan pengunjung merasakan berada di tengah alam. Logikanya kan berarti si pemilik sengaja membangun set hutan di homestay-nya sebagai salah satu dekorasi?! Iya nggak? Ya makanya saya nggak ambil pusing dengan itu semua.
Dan rupanya inilah pangkal dari semua kesialan tersebut…
Ternyata, begitu kami sampai di sana, homestay tersebut bukan dibuat seakan-akan berada di tengah hutan. Tapi, homestay itu literally berada di tengah hutan! Sekelilingnya hanya pohon-pohon lebat dan hutan bambu. Nggak ada rumah tetangga, nggak ada perkampungan. Standing alone.
Tanpa memasukkan beberapa kejadian janggal di awal, vila ini sangat asik. Ada dua cottage yang dikelilingi kolam ikan dan sawah kecil, juga gazebo minimalis khas pedesaan.
Di bagian belakang cottage kami terdapat sebuah ruangan yang difungsikan sebagai tempat makan bersama. Di sampingnya ada cafe untuk menyuplai kebutuhan makan dan minum pengunjung, serta difungsikan sebagai receptionist.
Nah, di sebelah cottage ada tanah lapang yang dijadikan tempat bersantai. Beberapa hammock digantung di antara pepohonan rindang. Meja dan kursi taman juga tersedia. Lampu-lampu gantung menambah suasana santai di homestay. Bisa kamu bayangkan?
Sejenak, nggak ada yang aneh dari homestay tersebut. Semua tampak asik dan so natural.
Sebenarnya, saat saya menceritakan kronologi bagaimana saya menemukan homestay ini, jantung saya masih berdegup kencang. Sebab, ada kejadian baru lagi yang mengguncang keberanian…
***
Setelah semua urusan check-in beres dan barang kami turunkan dari mobil, saya menyempatkan diri melihat-lihat sekeliling homestay. Penjelasan di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana saya melihat sekilas isi penginapan tersebut.
Lantas, saya menunjukkan cottage yang kami sewa kepada teman-teman. Saya berjalan paling depan. Saya pula yang masuk paling pertama.
Begitu saya masuk ke dalam cottage, tampak beberapa lukisan digantung di dindingnya. Karena penerangannya kurang maksimal, saya langsung mendekati lampu terdekat untuk meletakkan barang.
Namun, sampai di dalam, mata saya langsung on point pada sebuah lukisan. Lukisannya kecil, seukuran kertas A3. Lukisan itu bergambar anak kecil yang sedang memegang sebuah benda seperti seruling (atau rokok ya?). Tapi, matanya seakan-akan langsung menatap langsung ke saya!
“Tatapan” mata lukisan itu membius saya. Ruangan seakan menjadi sunyi senyap seketika. Nggak ada satupun suara masuk ke telinga. Saya nggak tau harus berbuat apa…
Saya semakin nggak berdaya begitu saya mencoba bergerak. Ya Tuhan…matanya ikut bergerak!! Matanya melirik mengawasi ke manapun badan saya bergerak bergerak.
Beruntung salah seorang teman segera masuk ke dalam. Sapaannya berhasil mengembalikan kesadaran saya.
“Woi, ngapain lo bengong, Mas?” katanya sedikit berteriak.
Saya pun mengumpat dalam hati.
“Anjr*t!!”
Begitu tersadar, tanpa berniat melihat-lihat, tapi mata saya langsung mempelajari apa saja yang ada di ruangan tersebut. Tepat di sebelah lukisan anak kecil tadi, terdapat gambar portrait seorang nenek tua. Ekspresinya nggak kalah seram. Dia seperti berteriak. Entah teriak ketakutan atau kesakitan. Sebab, sorot matanya tampak nanar dan seakan berteriak ke saya,
Duh!
Beberapa teman ternyata juga mengalami hal serupa. Persis! Betapa mereka juga merasakan bius tatapan mata lukisan-lukisan tersebut.
Di dinding cottage masih ada beberapa lukisan lain bertema serupa. Semua semakin mengesankan hal yang nggak-nggak buat saya.
Ya Tuhan…saya nggak pernah pengin ada di posisi seperti ini.
Saya pun segera keluar dari dalam kamar. Saya nggak mau berpikir macam-macam. Saya memilih menenangkan pikiran dengan memesan secangkir kopi. Saya juga sempatkan berbincang santai dengan penjaga homestay. Saya pikir, jika saya mencoba untuk positif, everything’s gonna be all right.
***
Di taman, saya mencoba melupakan semua kejadian barusan. Saya menyesap kopi hitam pahit dari cangkir di tangan. Saya lelah...
Nggak lama, yang lain akhirnya juga menyusul saya ke taman. Kami bersenda gurau sambil menyusun rencana tengah malam nanti menuju Bromo. Ya, homestay ini memang kami sewa hanya untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan trip. Lumayan kan bisa beristirahat 5 jam.
Di tengah obrolan, saya pamit sebentar untuk ke toilet. Namun, salah seorang teman ternyata sedang memakainya. Yasudah saya toilet di cottage sebelah.
Toilet milik cottage itu berada di luar, terpisah dari bangunan utama. Pintunya berkelir hijau tua. Nggak ada hiasan apapun di dalamnya. Hanya sebuah meja panjang berisi tumpukan peralatan berkebun yang saya lihat.
Begitu melangkah ke dalam, udara lembab yang menyergap.
“Enghhhh,” gerutu saya.
Setelah pintu hijau, masih ada sebuah pintu kaca lagi sebelum benar-benar masuk ke toilet. Pintu tersebut pun saya buka. Apa yang terjadi?
Bau-bau aneh masuk menusuk hidung saya. Bukan bau pesing maupun busuk. Entah lah…saya belum pernah menyium bau seperti itu. Baunya cukup bikin mual.
Padahal, toilet yang lumayan luas itu nggak ada sampah ataupun sisa hajat manusia. Di sana hanya ada sebuah westafel, kloset duduk besar, dan ember lawas saja yang saya lihat di dalamnya. Saya nggak punya ide sama sekali dari mana asal bau tersebut berasal.
Yang jelas, bau itu membuat saya ingin cepat-cepat menyelesaikan hajat. Setelah itu saya kembali ke taman tanpa menceritakan apa yang saya alami barusan.
***
Urusan rundown kelar, kami semua jadi lapar. Pukul 8 malam, beberapa dari kami akhirnya mencari makan di luar homestay, menyisakan saya dan tiga orang lainnya. Saya tetap di taman sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan, sedangkan yang lainnya memilih masuk ke kamar.
Saya nggak merasakan keanehan sama sekali di taman. Jadi saya ya tenang-tenang saja. Saya tetap anteng di depan laptop sambil menyesap kopi.
Namun, di dalam cottage, ternyata salah satu dari mereka melihat sesuatu yang ganjil. Ada sesosok hitam berwajah seram yang menatapnya!
Dia hanya bisa lari dan langsung melompat ke atas kasur. Tengkurap tanpa berani menoleh ke tempat sosok yang melihatnya barusan.
Karena kebetulan saya ingin buang air kecil lagi, saya masuk ke cottage. Saat itu saya memang melihat teman saya itu sedang tengkurap seperti sengaja enggan melihat ke arah manapun.
"Ngapain lu?" tanya saya.
"Aduuuhh wedi (takut) aku c*k!!" katanya tanpa mencoba memberi penjelasan.
….saya nggak tau harus berbuat apa.
Kami menyimpan sendiri kengerian itu. Hingga 1 jam kemudian, semua sudah berkumpul kembali untuk makan malam. Hanya satu orang yang absen di meja taman karena masih berada di luar homestay. Menemui teman katanya.
Setelah semua makanan kami santap, semua teman memilih beristirahat. Saya memilih melanjutkan pekerjaan.
***
Pukul 22:30 malam, laptop pun saya matikan. Lelah rasanya. Kopi pun saya bayar dan saya kembali ke cottage.
Saat menuju cottage, dari kejauhan, lebih tepatnya dari hutan di depan pintu masuk homestay, tiba-tiba saya mendengar suara orang berlari. Saya terdiam...
Dan benar saja, nggak lama muncul sosok orang yang sedang berlari ke arah saya. Begitu sosok itu memasuki gerbang penginapan, dia berteriak kencang.
Kaget bukan kepalang saya dibuatnya. Dia adalah teman yang tadi absen makan malam.
Karena kaget, dengan reflek saya keplak kepalanya. "Anj*ng lo yeeee! Kaget gue!" kata saya menggerutu. Kesal!
Dia hanya tertawa. Tertawa getir.
Sebab, dia memang baru saja "dikerjain”. Anggap saja begitu.
Jadi, di pelataran parkir, begitu turun dari motor temannya yang mengantar ke homestay, dia mendengar suara-suara aneh dari balik hutan.
Suara tersebut terdengar makin mendekat ke arahnya.
Dan tanpa pikir panjang dia berlari ke homestay. Namun, suara itu semakin mendekat. Sangat dekat...dan terus mendekat! Kemudian...
Suara itu seperti menerjangnya!
*....hening....*
Apa yang dia alami menjadi kejadian terakhir sebelum kami benar-benar dibuat ketakukan 90 menit kemudian. Ya, tepat pukul 12 malam.
Kisah sebelumnya:
Horor #1dayescape (Bagian 1) - Niat 'Happy' Berujung 'Creepy'
Horor #1dayescape (Bagian 2) - Suara Itu dari Hutan Bambu
Escape story by: Faisal Ash (@ashfaisal)
Destination: Malang, Jawa Timur