Zetizen.com, PONTIANAK - Mampir di kota khatulistiwa rasanya belum lengkap kalau nggak mampir di jalan Gajahmada. Di tempat itu, kamu bakal menemukan deretan warung kopi hingga ke dalam gang-nya. Bahkan banyak warung kopi yang letaknya bersebelahan. Yang unik, warkop di Gajahmada nggak pernah sepi pengunjung. Dari matahari terbit hingga larut malam, nafas kehidupan daerah Gajahmada bergulir di antara tegukan kopi setiap pengunjung warkop. That’s why, daerah Gajahmada dijuluki Gajahmada Coffee Street.
Menurut Muslim ‘Toing’ Minhard selaku Budayawan Pontianak, eksistensi warkop di Pontianak khususnya daerah Gajahmada mulai merebak sekitar tahun 1996 atau akhir tahun ’90-an. Daerah coffee street diawali Warkop Melawai yang menyediakan kursi untuk ngopi di luar bangunan utama. Ciri khas tersebut akhirnya menular ke warkop-warkop lain. Hingga kini, setiap warkop di Pontianak selalu menyediakan kursi di halaman warkop.
“Tradisi meletakkan kursi di luar bangunan utama udah dimulai sebelum di Pontianak. Tepatnya di daerah Singkawang dan Pemangkat. Usaha warkop di Pontianak ini menjamur karena modal usahanya murah dan nggak mudah basi. Orang Pontianak akan selalu mencari kopi. Apalagi warkop di Pontianak, khususnya daerah Gajahmada mayoritas menggunakan kopi-kopi lokal yang dipasok dari daerah pesisir seperti Mempawah dan Sungai Kakap,” Ujar budayawan yang juga pernah menjadi juri dalam Pontianak coffee street Festival 2012.
Salah satu owner warkop terkenal di Pontianak, Asiang, mengaku selalu menggunakan kopi lokal sejak warungnya berdiri tiga puluh tahun lalu. “Kopi di warkop Asiang berasal dari daerah Punggur. Kopi lokal kualitasnya nggak kalah dari daerah lain,” tutur pria berusia 62 tahun ini.
Cita rasa khas ini ditambah ciri khas Asiang yang selalu bertelanjang dada saat meracik kopinya. Kegesitan Asiang saat menyaring kopi menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjungnya. Nggak jarang para turis pun kerap berfoto di Warkop Asiang dengan latar belakang Asiang yang sedang menyaring kopi.
Mayoritas warkop di Pontianak dapat dibagi menjadi dua yakni tradisional dan semi-modern. Warkop semi-modern menyediakan fasilitas wifi yang menunjang konsumen buat ngopi sambil berinternet ria. Sementara warkop tradisional lebih dikenal oleh mereka yang ingin menikmati sajian khas, kopi saring. Meski tanpa wifi, warkop tradisional pun nggak pernah sepi dikunjungi anak-anak muda.
“Kalo di warkop tradisional seperti di Warkop Asiang itu kopinya enak. Tanpa adanya wifi, kita jadi bisa lebih akrab dengan teman dan nggak terpaku dengan gadget. Harga minuman di warkop juga murah. Aku juga kadang bawa pacarku ngopi. Kekurangan warkop di daerah Gajahmada tuh cuma banyak pengamen yang lalu lalang aja,” cuap Regi Nur Alam, mahasiswa Teknik Pertambangan Untan.
Asiang pun menyetujui banyaknya anak muda yang kerap ngopi di warkopnya. “Sekarang rame anak muda yang ngopi di sini. Semakin tahun jumlahnya semakin banyak. Beda dengan zaman dulu yang mana warkop seperti ini didominasi orang tua,” tambahnya.
Muslim ‘Toing’ Minhard memaklumi daya beli kaum muda yang belum mampu menikmati hiburan yang lebih tinggi tingkatannya dibanding kopi warkop. “Jumlah pengunjung muda di warkop yang semakin banyak kan berbeda dengan dulu. Kalo zaman dulu penduduknya belum sebanyak yang sekarang. Tempat hiburan di Pontianak juga lebih sedikit dibanding dulu. Lalu Walikota menjadikan Jalan Gajahmada sebagai Coffee Street, sehingga warkop merupakan tempat pilihan masyarakat Pontianak untuk bersosialisasi,” pungkasnya.
Nah, kira-kira gitu deh uniknya wisata warkop di jalan Gajahmada Pontianak. Gimana, tertarik buat ikutan nongki dan ngopi bareng disini?
Penulis: Indry Agnesty / Zetizen Pontianak
Editor: Bogiva