Zetizen.com - Setelah lihat hasil upload-an #1dayescape di Instagram @zetizen yang makin seru, kami juga nggak mau kalah. Kali ini kami memutuskan untuk escape ke sebuah desa berumur 664 tahun yang benar-benar beyond expectations! Di sana banyak teknologi modern yang berjalan beriringan dengan tradisi kuno warisan Kerajaan Pajajaran.
Ya, kampung yang Zetizen kunjungi adalah Ciptagelar, pusat dari Kasepuhan Ciptagelar. Kampung itu terletak di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Meski lokasinya cukup terpencil, di sini udah ada pembangkit listrik tenaga air microhydro, laboratorium pengembangan perangkat lunak komputer dan teknik, studio film dan radio, serta workshop pembuatan drone!
Saking penasaran, tim Zetizen nyempetin sightseeing ke sekitaran kampung. Selama kami berkeliling, layar HP menampakkan sinyal high speed packet access (HSPA+). Amazing kan? Padahal, kami berada di lingkup hutan belantara.
Beranjak malam, rumah-rumah di kampung itu menyala terang. Kok bisa? Sebab, seluruh bangunan di sana udah dialiri listrik yang bersumber dari hydropower. Hebatnya, 10 unit turbin pembangkit listrik tenaga air tersebut dirakit sendiri oleh warga Ciptagelar. ’’Kami cuma beli komponennya di Bandung atau Jakarta. Bahkan, kami bikin sendiri beberapa komponen,’’ ungkap pemimpin kasepuhan Ugi Sugriana Rakasiwi, 29, atau yang akrab disapa Abah Ugi.
Inspiratif banget kan? Nggak heran deh, ada beberapa warga Ciptagelar yang udah dipercaya pemerintah untuk menangani proyek kelistrikan hingga ke luar pulau. Paling jauh ditugaskan ke Aceh dan Sumbawa.
Nggak hanya sampai sini, tim kami juga mengunjungi beberapa lab di kampung tersebut. Salah satunya adalah lab teknik. Di sana kami bertemu dengan empat orang yang sedang membikin drone. Keren kan udah main drone loh mereka!
Bukan buat iseng atau foto selfie loh ya, drone itu nanti digunakan untuk memotret kawasan hutan adat. ’’Biar tahu kerusakan hutan makin bertambah atau berkurang. Itulah salah satu cara antisipasi dari kami,’’ terang Abah Ugi yang juga pemangku jabatan adat tertinggi. ’’Drone ini autopilot. Jadi, nanti tinggal dikontrol dari ruang ini,’’ lanjutnya. Ssst, yang lebih keren lagi, engineer di sana masih berusia muda. Ada leader yang umur 16 tahun. Sisanya masih berusia 14 tahun.
Satu hal lagi yang bikin tim Zetizen makin ngefans sama Desa Ciptagelar, mereka punya pemancar radio FM dan televisi gelombang VHF bernama Ciga TV yang menyiarkan konten lokal Ciptagelar. Ssst, rahasia lagi nih. Kamerawannya masih usia SMP, Bro!
Usut punya usut, ternyata desa itu mengembangkan teknologi modern agar selaras dengan filosofi pancer pangawinan. Aplikasinya ya memegang teguh tradisi, tapi juga harus melek teknologi. Bisa dibilang pancer pangawinan itu serupa dengan yin dan yang milik orang Tionghoa. Itu loh filosofi bahwa hidup itu seimbang karena ada dua kekuatan yang saling berseberangan. Ada baik, ada buruk. Ada mudah, ada sulit. Ada tradisional, ada modern.
Untuk sisi tradisional yang masih mereka pegang erat, salah satunya adalah penanaman padi. Nih, waktu Det buka puasa di sana, nasi yang tersaji itu enak banget! Bulirnya besar, pulen, dan wangi. Katanya sih, nasi yang kami makan malam itu adalah nasi yang sama dengan dimakan para pendekar zaman Kerajaan Pajajaran dulu. Wow banget kan!
FYI nih, untuk menanam padi di sana, ada aturan khusus loh. Para warga Ciptagelar harus melihat rasi bintang dulu. Nggak boleh asal tanam aja. ’’Ini yang bikin kami nggak pernah sekalipun gagal panen karena faktor alamnya selalu pas,’’ ujar Yoyo Yogasmana, warga Ciptagelar yang menemani kami berkeliling.
Mengolah padi pun nggak boleh sembarang. Warga dilarang menggunakan traktor dan mesin penggiling padi. Memasaknya hanya boleh dengan memakai kompor tungku berkayu bakar, bukan kompor gas. ’’Sebab, padi adalah simbol utama kehidupan bagi kami,’’ jelas Yoyo. (ash/c14/dri)