Ini bukan cerita rekayasa. Semua ini berdasarkan pengalaman nyata blind trip #1dayescape tim Zetizen Jakarta ke Surabaya-Malang pada akhir Maret 2017 lalu. Beberapa kejadian creepy memang betul-betul kami alami tanpa dibuat-buat. Sebelum lanjut baca cerita bagian kedua ini, mungkin ada baiknya baca bagian pertamanya dulu di sini. Selamat membaca dan merinding asik.
CHAPTER 2: SUARA ITU DARI HUTAN BAMBU
Kamis, 30 Maret 2017, pukul 18:00 Wib.
Baca juga:
Sebuah Surat Cinta- Bagian 1
|
Selesai escape seharian di kota Batu, tim Zetizen Jakarta memutuskan untuk turun ke kota Malang. Rintik hujan menemani perjalanan kami menuju Kota Apel tersebut.
Karena nggak ada satupun dari kami yang hafal jalan di kota Malang, ya peta digital menjadi satu-satunya opsi yang bisa diandalkan. Sebab, bertanya ke mantan hanya bikin urusan lebih berantakan.
Baca juga:
Penuh Lika-Liku Sampai ke Prancis
|
Aplikasi peta digital Google Maps membawa kami menjauhi pusat kota Malang. Tujuannya adalah sebuah homestay yang sudah kami pesan sebelumnya. Nggak ada kecurigaan sama sekali dengan jalur yang menjauh dari pusat kota. Karena toh jalannya masih cukup ramai dan nggak ribet.
Jam 19:00 Wib, seratus meter menjelang lokasi homestay, mobil kami berbelok memasuki gang kecil. Sebuah plang kecil berbahan flexy kuning menunjukkan arah lokasi homestay tersebut. Karena nggak ada jalan lain, ya sudah terpaksa kami susuri gang tersebut sesuai petunjuk di peta.
Namun, baru berjalan lima puluh meter, jalan beraspal berakhir dan berganti dengan jalan tanah setapak berilalang. Nggak ada lagi perumahan penduduk yang terlihat sama sekali. Lima puluh meter berikutnya, suasana sudah berganti. Berganti cukup drastis. Hanya ada pepohonan bambu yang berjajar dan pohon-pohon besar yang tumbuh liar, lengkap dengan suara jangkrik, cicak, dan tokek yang terdengar bersahut-sahutan.
Tepat di akhir jalan beraspal itu, terdapat sebuah gedung besar berpagar tinggi di sebelah kanan kami. Kelirnya sudah sangat kusam. Putih pucat dan mengelupas sana-sini.
Kayaknya semua orang juga paham kalau itu bukan penampilan eksterior yang wajar untuk sebuah homestay yang disewakan untuk umum. Terlebih tak terlihat tanda-tanda kehidupan di balik pagar tinggi tersebut.
Karena bingung, kontak tuan rumah yang tercantum di aplikasi saya hubungi.
No response.
Saya coba lagi…masih nggak ada respon.
Saya coba sekali lagi…sial, masih nggak ada respon juga!
Panik. Panik banget. Gimana nggak, sebelah kanan saya adalah gedung (yang terlihat) kosong dan tua, sebelah kiri adalah hutan bambu, dan di depan nggak ada apapun yang bisa dilihat selain jalan setapak yang kosong.
Logika sudah nggak bisa dikontrol lagi. Beberapa teman sudah berpikir yang macam-macam. Suasana itu semakin membuat kami panik dan kebingungan.
Mencoba memecah kepanikan, Suryo, salah satu anggota trip, berinisiatif bertanya ke warga sekitar yang berada di dekat kami. Beruntung, saat itu ada sepasang orang tua yang tengah berbincang di teras rumah mereka.
"Permisi, Bu, numpang tanya. Benar di dekat sini ada villa xxxxx (menyebut nama homestay)?"
"Oh iya bener mas, nanti ada di situ," sambil menunjuk ke arah jalan setapak serta memberikan detail cara menuju ke sana. "Loh sampean itu dari mana toh mas?" tanya si Ibu.
"Jakarta, Bu."
"Loh kok bisa-bisanya dapet villa itu?" tanya si ibu dengan raut muka keheranan.
"Dari internet, Bu. Tapi, betul kan ya ada villa xxxxxxx (menyebut nama homestay)?"
"Oalah...iya mas ada. Betul kok di situ tempatnya. Sampean ke situ saja. Hati-hati ya."
Kepanikan nggak lantas hilang. Mimik si Ibu barusan di tengah malam yang sunyi dan senyap itu justru semakin membuat mental kami drop.
Menurut pengakuan Suryo, si Ibu kaget dan keheranan begitu dia menyebut nama homestay tersebut. Semacam ada hal yang disembunyikan. Ya Tuhan...
Akhirnya kami harus memilih. Pilihannya saat itu cuman dua: Go Hard or Go Home!
Karena sudah kepalang basah berada di dekat lokasi, kami akhirnya mengikuti arahan dari si Ibu. Mobil kami jalankan lagi mengikuti jalan setapak tersebut. Kurang dari satu menit, akhirnya terlihat sebuah plang penanda tempat parkir di tengah tanah lapang yang cukup luas.
Jangan bayangkan tempat parkirnya dijaga dan diawasi oleh para petugas. Nggak ada sama sekali. Kondisi parkiran begitu gelap gulita. Tidak ada penerangan sama sekali. Satu-satunya sumber cahaya di parkiran hanyalah lampu dari mobil dan flash smartphone kami.
Sebelum turun dari mobil, sekali lagi saya hubungi kontak pemilik Homestay…
*tuuuuut....tuuuuut...nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silakan ulangi beberapa saat lagi...*
...dan hasilnya masih nihil.
Sebagai gambaran, lokasi parkiran tepat berada di tengah hutan bambu. Penerangan di tempat itu ternyata baru dinyalakan pemilik homestay saat ada tamu saja. Artinya, malam itu nggak ada tamu lain selain kami.
Dengan masih keheranan dan mental yang berantakan, kami turun dari mobil mencari tangga dari tanah menuju lokasi homestay kami berada. Ya, sesuai yang diinfo si Ibu.
Baru tiga langkah, dari balik pohon-pohon bambu tiba-tiba terdengar suara yang cukup nyaring!
*…prok…prok…prok…*
Saya menghentikan langkah. Kepala saya lantas menengadah ke arah hutan mencari sumber suara.
Hmm...tidak ada sesuatu yang terlihat mencurigakan. Tapi, saya sangat yakin suara yang saya dengar barusan itu adalah suara tepuk tangan manusia.
“Siapa cuy yang tepuk tangan?” tanya saya ke teman-teman.
“Tepuk tangan? Nggak ada tuh, Mas. Salah denger kali lo,” jawab salah seorang dari mereka.
Masa iya ada anak kampung yang main di balik pohon-pohon bambu itu di malam yang gelap begini?
Ah, saya nggak mau berpikir macam-macam. Saya cuman pengin segera santai.
Anehnya, hanya beberapa saja dari kami yang mendengar suara tepuk tangan tersebut (setelah kami saling bercerita keesokan harinya). Padahal, suaranya cukup nyaring terdengar di telinga saya. Mustahil rasanya kalau ada yang nggak mendengar. Apalagi keadaan saat itu begitu sunyi dan mesin mobil sudah dimatikan.
***
Dan tanpa saya sadari, bersamaan dengan saya mendengar suara tepuk tangan, ternyata dua orang tim kami juga melihat sesosok makhluk yang terus menerus mengitari kami dari balik pohon bambu! Suara-suara khas ranting dan daun kering yang terinjak juga mereka dengar bersamaan dengan bergeraknya sosok tersebut.
Lagi dan lagi, hanya mereka berdua saja yang melihat dan mendengar (ini juga hasil kroscek keesokan harinya). Anggota tim yang lain seakan dibutakan sesaat.
Entah karena terlalu terkejut atau memang nggak sanggup lagi berkata-kata, keduanya memilih diam. Tak ada satupun dari mereka yang memberitahu kepada anggota yang lain, termasuk saya, tentang apa yang sedang mereka lihat.
***
Suara tepuk tangan tersebut nggak saya pedulikan. Saya menaiki tangga dari tanah dengan bantuan flash light. Sekitar 100 anak tangga saja rupanya. Teman-teman yang lain saya suruh menunggu di parkiran sembari saya mengecek kondisi homestay ke atas.
Begitu sampai di anak tangga terakhir, saya tiba di depan sebuah homestay yang gelap. Gerbangnya cukup besar. Tapi, tak ada tanda-tanda kegiatan di situ.
Dari depan, saya melihat ada beberapa orang di dalam sana. Huft...saya beranikan diri masuk ke pekarangannya.
"Misi, mas, betul ini Homestay xxxxx (menyebut nama Homestay)," tanya saya.
"Betul, mas. Ada apa ya?"
"Saya yang pesan lewat aplikasi untuk malam ini. Atas nama Faisal, mas."
"Ohhhh iya mas Faisal. Monggo masuk. Sudah kami siapkan kok kamarnya," kata dia. "Yang lain mana? Katanya bersepuluh?" tanyanya lagi sambil menyalakan lampu.
*Fiiuhh...*
Setelah berbasa basi dan menanyakan telepon saya yang nggak ada respon, saya kembali ke parkiran menjemput teman-teman. Masuklah kami semua ke homestay itu.
Dan ternyata semua itu baru awal mula dari segala keanehan yang kami alami malam itu. Hari Kamis, 30 Maret 2017. Ya. Tepat di malam Jumat.
**Ada yang pernah mengalami kejadian kayak gini juga? Share dong ceritanya ke zetizen@jawapos.co.id atau di kolom komentar. Sambil nungguin cerita bagian ketiga release :))
Kisah Sebelumnya:
Horor #1dayescape (Bagian 1) - Niat 'Happy' Berujung 'Creepy'
Horor #1dayescape (Bagian 3) - Matanya Terug Bergerak Mengikuti
Escape story by: Faisal Ash (@ashfaisal)
Destination: Malang, Jawa Timur