Zetizen.com - Tradisi imlek emang banyak dirayakan di Indonesia. Bazar Imlek, festival lampion, berbagai pertunjukan barongsai, sampai perayaan Cap Go Meh masih sering kita jumpai. Namun, banyak juga peninggalan Tionghoa yang terlupakan. Bahkan nyaris hilang. Mulai salon tua di sudut jalan Kota Surabaya hingga keramik Sakok khas Dinasti Ming yang bercorak naga. Namun, peninggalan-peninggalan itu masih layak dilestarikan meski terus tergerus zaman. (nrm/ind/har/c22/grc)
SINGKAWANG – Jalan Padang Pasir, Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Timur, Kalimantan Barat, atau yang dikenal dengan wilayah Sakok merupakan daerah perajin keramik. Kerajinan keramik dibawa para imigran Tiongkok pada 1930-an. Nggak heran jika hasil karya keramik itu mirip kerajinan pada masa Dinasti Ming. Keramik Sakok menjadi salah satu usaha kerajinan tertua di Singkawang karena berdiri sejak 1937.
Salah seorang pemilik usaha kerajinan adalah Lie Fung Kiau yang kini mengelola showroom keramik khas Singkawang. Usianya kini mencapai 53 tahun. Keluarganya memiliki usaha kerajinan sendiri. Hanya, produksinya nggak terlalu banyak lagi karena kondisi pasar yang sepi peminat.
’’Nggak seperti dulu. Sekarang permintaan pesanan hanya datang dari Jakarta. Di Pontianak pun kurang. Mendekati Imlek ini pun belum ada pesanan,’’ katanya.
Meski demikian, perajin atau pengusaha keramik tetap bertahan karena bangga dengan warisan leluhur. Udah tiga generasi yang mengelola usaha kerajinan keramik tersebut.
Leluhurnya, Yun Thung Fat, mendirikan usaha keramik itu pada 1973. Setelah itu, barulah bermunculan perajin lainnya yang kini hanya tersisa empat usaha yang bertahan. ’’Masuk pada 2010 ke atas, usaha ini mulai lesu. Bahkan, ada usaha perajin keramik yang tutup,’’ ujarnya.
Udah jadi komitmen keluarga bahwa usaha kerajinan tersebut harus tetap dipertahankan. Sebab, melestarikan dan meneruskan warisan leluhur itu penting sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri. ’’Kerajinan ini kan dari leluhur kami, jadi harus dipertahankan. Bangga melestarikan budaya kami,’’ ungkapnya.
Bahkan, banyaknya gempuran keramik pabrikan nggak dilihatnya sebagai masalah. Sebab, keramik Singkawang memiliki ciri khas. ’’Kalau kami kan gambar timbul dibuat manual, cetak sendiri, sedangkan keramik lainnya hanya menggunakan lukisan seperti keramik Singapura. Ketahanannya juga lebih unggul karena prosesnya melalui pembakaran yang maksimal,’’ jelasnya.
Begitu juga usaha kerajinan keramik di Sinar Terang yang berdiri sejak 1980. Bong Sei Moi, 55, bersama sang suami kini menjalankan usaha tersebut. Sebagian tempat usahanya nggak terawat. Beberapa bagian atap yang terbuat dari rumbia itu roboh dan berlubang. Bahkan, kolong pembakaran tungku naga miliknya direndam air. Penurunan produksi tersebut dirasakan sejak 2013. Dia hanya berharap usaha yang menjadi warisan leluhurnya itu kembali bergairah. Termasuk mendapatkan dukungan pemerintah berupa modal dan pelatihan yang maksimal.
Karena permintaan pasar nggak selancar enam tahun lalu, proses produksi pun udah berubah. Pembuatan seperti pembakaran nggak pakai tungku naga lagi, tapi menggunakan gudang pembakaran ukuran segi empat yang bahannya terbuat dari kerangka besi. Namun, bagi Lie Fung Kiau, budaya harus tetap dipertahankan. Meski nggak dipakai, tungku naga milik usaha keluarganya tetap dijadikan peninggalan sejarah dan tetap berada di tempatnya semula. Jadi, orang-orang bisa tetap mengetahui fisik tungku naga.
Pada masa kejayaannya, yaitu sebelum 2013, perajin keramik bisa menghasilkan ratusan keramik dalam seminggu. Namun, sekarang mereka hanya memproduksi 1–3 keramik dalam sebulan. Nggak heran harga jual keramik pabrikan dan keramik asal Singkawang itu berbeda. Untuk hasil karya seperti guci ukuran sedang dan besar, nilainya bisa mencapai jutaan rupiah. Soalnya, harga guci tersebut bergantung motif, ukuran, dan kerumitan pembuatannya. Guci ukuran sedang sampai besar dijual Rp 1 juta sampai Rp 5 juta, bergantung ukuran. Sementara itu, harga guci kecil bisa mencapai Rp 30 ribu hingga ratusan ribu rupiah.